Sabtu, 05 November 2011

MEMAHAMI (HIKMAH) HARI RAYA IDUL ADHA; antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosial



MEMAHAMI (HIKMAH) HARI RAYA IDUL ADHA;
antara kesalehan ritual dengan kesalehan sosial

*Jamal ArieVansyah

          
         Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan yang bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.
          Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah SWT, Tuhan semesta alam.
          Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rakaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail. Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak, Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji ketakwaannya oleh Allah untuk ‘menyembelih’ putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Allah atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun lebih diutamakan. Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, ternyata Nabi Ismail tidak jadi disembelih namun Allah menggantinya dengan seekor domba. Legenda mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat 102-109.
          Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhannya. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani. Benang merah untuk negara kita adalah bahwa kita bisa melihat betapa budaya korupsi menjamur dimana-mana. Demi menumpuk kekayaan para koruptor rela menanggalkan ”baju” ketakwaannya. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa mereka untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Karena itulah Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim yaitu dengan Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap ajaran agama.
          Di samping itu, ada pelajaran berharga lain yang bisa dipetik dari kisah penuh pengorbanan ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah ‘menyembelih’ Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor domba. Pesan tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam sebenarnya begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia. Hal ini senada dengan apa yang diterangkan Imam Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqot. Menurut Syatibi, satu diantara nilai universal Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al nafs). Begitu pula dalam ranah fikih, agama mensyari’atkan qishosh, larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia. (hlm.220 )  Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya tidak lain hanyalah demi mentaati perintah Allah. Berbeda dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri. Apakah pengorbanan yang mereka lakukan benar-benar memenuhi perintah Tuhan demi kejayaan Islam? atau malah justru sebaliknya?.
          Para teroris dan pelaku bom bunuh diri jelas tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Islam menjaga  hak untuk hidup, sementara mereka—dengan aksi bom bunuh dirinya— justru mencelakakan  dirinya sendiri. Di samping itu, mereka juga membunuh rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak berdosa berjatuhan. Lebih parah lagi, mereka  bukan membuat Islam berwibawa di mata dunia, melainkan menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan, agama pedang dan sarang kekerasan. Akibat aksi nekat mereka ini justru menjadikan Islam laksana ”raksasa” kanibal yang haus darah manusia.
          Imam Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin pernah menjelaskan tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi munkar.  Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi pengrusakan, penghancuran tempat kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan yang mendapatkan legalitas negara. Tindakan yang dilakukan Islam garis keras dalam hal ini jelas tidak prosedural. (vol.2 hlm.311)  Sudah semestinya dalam melakukan amar makruf nahi munkar tidak sampai menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Bukankah tindakan para teroris dan pelaku bom bunuh diri ini justru merugikan terhadap Umat Islam itu sendiri?. Merusak citra Islam yang semestinya mengajarkan kedamaian dan sebagai rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang bersifat humanis, memahami pluralitas dan menghargai kemajemukan malah seakan-akan tidak bermakna.
          Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Allah SWT yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.
          Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama. Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa harus kita ‘langgengkan’ pasca Idul Adha.
          Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba-lomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Selamat Hari Raya Idul Adha 1432 H.

    *penulis adalah mahasiswa jurusan sosiologi-antropologi UIN Jakarta




Selasa, 01 November 2011

The Miracle of Shalat Dhuha (beserta Dalil dan Hadist mengenai Keutamaannya)

KEAJAIBAN SHALAT DHUHA
                                   *dikutip dari berbagai sumber

Didalam Surah Adh-Dhuha Allah swt bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam: “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi.” (QS. 93:1-2). Pernahkah terlintas dalam benak kita mengapa Allah swt sampai bersumpah pada kedua waktu itu?. Beberapa ahli tafsir berpendapat bahwa kedua waktu itu adalah waktu yang utama paling dalam setiap harinya.
Pada waktu itulah Allah swt sangat memperhatikan hambaNya yang paling getol mendekatkan diri kepadaNya. Ditengah malam yang sunyi, dimana orang-orang sedang tidur nyenyak tetapi hamba Allah yang pintar mengambil kesempatan disa’at itu dengan bermujahadah melawan kantuk dan dinginnya malam dan air wudhu’, bangun untuk menghadap Khaliqnya, tidak lain hanya untuk mendekatkan diri kepadanya.
Demikian juga dengan waktu dhuha, dimana orang-orang sibuk dengan kehidupan duniawinya dan mereka yang tahu pasti akan meninggalkannya sebentar untuk
kembali mengingat Allah swt, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Zaid bin Arqam ra ketika beliau melihat orang-orang yang sedang melaksanakan shalat dhuha: “Ingatlah, sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa shalat itu dilain sa’at ini lebih utama. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Shalat dhuha itu (shalatul awwabin) shalat orang yang kembali kepada Allah, setelah orang-orang mulai lupa dan sibuk bekerja, yaitu pada waktu anak-anak unta bangun karena mulai panas tempat berbaringnya.” (HR Muslim).
Lantas bagaimana tidak senang Allah dengan seorang hamba yang seperti ini, sebagaimana janjiNya: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah
dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. 5:35). Diakhir ayat ini terlihat Allah menyatakan kata “beruntung” bagi hambanya yang suka mendekatkan diri kepadanya. Nach.. kalau bicara tentang beruntung tentu ini adalah rejeki bagi kita. Dan satu hal yang perlu kita ingat bahwa rejeki itu bukan hanya bentuknya materi atau uang belaka. Tetapi lebih dalam dari itu, segala sesuatu yang diberikan kepada kita yang berdampak kebaikan kepada kehidupan kita didunia dan diakhirat adalah rejeki. Dan puncak dari segala rejeki itu adalah kedekatan kepada Allah swt dan tentu kalau berbicara ganjaran yaitu kenikmatan puncak yang paling akhir adalah syurga. Oleh karena itu para ulama mengajarkan kita untuk berdo’a tentang rejeki ketika selesai shalat dhuha. Jadi salah satu fadilah (keutamaan) dari shalat dhuha itu adalah sarana jalan untuk memohon limpahan rejeki dari Allah swt.
Disamping itu shalat dhuha ini juga dapat mengantikan ketergadaian setiap anggota tubuh kita pada Allah, dimana kita wajib membayarnya sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Setiap pagi setiap persendian salah seorang diantara kalian harus (membayar) sadhaqah; maka setiap tasbih adalah sadhaqah, setiap tahmid adalah sadhaqah, setiap tahlil adalah sadhaqah, setiap takbir adalah sadhaqah, amar ma’ruf adalah sadhaqah, mencegah kemungkaran adalah sadhaqah, tetapi dua raka’at dhuha sudah mencukupi semua hal tersebut” (HR Muslim).
Tetapi yang lebih dalam dari itu lagi adalah shalat dhuha ini adalah salah amalan yang disukai Rasulullah saw beserta para sahabatnya (sunnah), sebagaimana anjuran beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra: “Kekasihku Rasulullah saw telah berwasiat kepadaku dengan puasa tiga hari setiap bulan, dua raka’at dhuha dan witir sebelum tidur” (Bukhari, Muslim, Abu Dawud). Kalaulah tidak khawatir jika ummatnya menganggap shalat dhuha ini wajib hukumnya maka Rasulullah saw akan tidak akan pernah meninggalkannya. Para orang alim, awliya dan ulama sangatlah menjaga shalat dhuhanya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafei’: Tidak ada alasan bagi seorang mukmin untuk tidak melakukan shalat dhuha”. Hal ini sudah jelas dikarenakan oleh seorang mukmin sangat apik dan getol untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya”.
Jadi tidak ada alasan lagi bagi kita sebagai seorang muslim yang mempunyai tujuan hidup untuk mendapatkan ridhoNya meninggalkan shalat dhuha karena kesibukan duniawi kita kecuali karena kelalaian dan kebodohan kita sendiri.

Dalil dan Hadist mengenai keutamaan Shalat Dhuha

Chart I
Allah memerintah agar kita selalu bertasbih kepada-Nya di kala pagi dan sore, shalat dhuha merupakan sarana untuk kita bertasbih
إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ
“Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi.” (QS. Shaad : 18)
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ. رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ….
“ Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah…”
(QS. An-Nuur : 36-37)

Chart II
Menghidupkan sunnah Rasulullah , suatu keharusan; sebagai wujud kecintaan kepadanya. Bila kecintaan sudah terbukti maka layak masuk surga bersamanya
عَنْ اَنَسِ ابْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ :
مَنْ اَحْياَ سُنَّتِى فَقَدْ اَحَبَّنِى وَمَنْ اَحْبَّنِى كَانَ مَعِى فِى الجْنََّةِ
(رواه الترمذى)
Dari Anas Bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah bersabda:
“Siapa yang menghidupkan sunnahku, maka dia telah mencintaiku, dan siapa yang mencintaiku maka ia layak bersamaku di surga.” (HR. Tirmidzi)

Chart III
Pelengkap Ibadah Wajib; dinamakan wajib karena ada yang sunnah
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَوِّلُ مَا افْتَرَضَ اللهُ عَلىَ أُمَّتىِ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ ، وَأَوَّلُ مَا يُرْفَعُ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ ، وَأَوَّلُ مَا يُسْأَلُوْنَ عَنْهُ الصَّلَوَات الْخَمْسُ فَمَنْ كَانَ ضَيَّعَ شَيْئًا مِنْهَا يَقَُولُ اللهُ تَعَالىَ : اُنْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ لِعَبْدِي نَافِلَةً مِنْ صَلاَةٍ تُتِمُّوْنَ بِهَا مَا نَقَصَ مِنَ الْفَرِيْضَةِ ، وَانْظُرُوْا فيِ صِيَامِ عَبْدِى شَهْرَ رَمَضَانَ فَاِنْ كَانَ ضَيَّعَ شَيْئًا مِنْهُ ، فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ لِعَبْدِي نَافِلَةً مِنْ صِيَامٍ تُتِمُّوْنَ بِهَا مَا نَقَصَ مِنَ الصِّيَامِ ، وَانْظُرُوْا فيِ زَكَاةِ عَبْدِى ، فَاِنْ كَانَ ضَيَّعَ شَيْئًا مِنْهَا فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ لِعَبْدِيْ نَافِلَةً مِنْ صَدَقَةٍ تُتِمُّوْنَ بِهَا مَا نَقَصَ مِنَ الزَّكَاةِ ، فَيُؤْخَذُ ذَلِكَ عَلىَ فَرَائِضِ اللهِ ، وَذَلِكَ بِرَحْمَةِ اللهِ وَعَدْلِهِ ، فَاِنْ وُجِدَ فَضْلاً وَضَعَ فيِ مِيْزَانِهِ ، وَقِيْلَ لَهُ اُدْخُلِ الجَنَّةَ مَسْرُوْرًا ، فَاِنْ لَمْ يُوْجَدْ لَهُ شَئْ ٌمِنْ ذَلِكَ أُمِرَتْ بِهِ الزَّبَانِيَّةُ فَأَخَذُوْا بِيَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ ، ثُمَّ قَذَفَ بِهِ فيِ النَّارِ. ( رواه أَحْمَد و الحاكم)
Dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Rasulullah bersabda:
“Perintah yang pertama kali diwajibkan kepada ummatku adalah shalat lima waktu, yang pertama kali diangkat dari amal perbuatan mereka adalah shalat lima waktu, dan yang pertama kali dipertanyakan dari amal perbuatan mereka adalah shalat lima waktu. Barangsiapa yang pernah meninggalkan sesuatu daripadanya maka Allah SWT berfirman (kepada malaikat): lihatlah! Apakah kalian mendapatkan dari hamba-Ku shalat-shalat sunnah yang menyempurnakan kekurangannya dari shalat fardhu?
Lihatlah puasa ramadhan hamba-Ku, apabila tertinggal (pernah tidak berpuasa) maka lihatlah apakah hamba-Ku mempunyai pahala puasa sunnah yang akan menyempurnakan kekurangan puasa wajibnya? Dan lihatlah zakat hamba-Ku, bila ia sempat tidak mengeluarkannya maka lihatlah apakah kalian mendapatkan hambaku bersedekah yang akan menyempurnakan kekurangan zakatnya?
Maka diambilah pahala sunnah tersebut untuk melengkapi kekurangan atas kewajiban yang Allah perintahkan, yang demikian terjadi karena rahmat Allah dan keadilan-Nya.
Apabila didapati pahalanya lebih banyak (melengkapi pahala ibadah wajib) dalam timbangannya, maka dikatakan kepadanya: “masuklah surga dengan senang hati”.
Namun bila tidak didapati satupun pahala sunnahnya, maka Malaikat Zabaniyyah akan diperintah oleh Allah untuk menyeret tangan dan kakinya kemudian dilempar ke neraka.
(HR. Ahmad & Al-Haakim)

Chart IV
Dhuha termasuk tiga sunnah yang tidak layak ditinggalkan
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ، قَالَ : أَوْصَانيِ خَلِيْلِي بِثَلاَثٍ [ لاَ اَدَعُهُنَّ حَتىَّ اَمُوْتَ ] :
( بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَياَّمٍ فيِ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَي الضُّحَى، وَأَنْ أُوْتِرَ قَبْلَ أَنْ أَناَمَ ) .
(رواه البخاري ومسلم )
Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu , beliau berkata:
“Sahabatku (Rasulullah ) menasihatiku akan tiga hal (yang tidak akan pernah kutinggalkan hingga ku mati) : puasa tiga hari setiap bulan (puasa bhidh), dua raka’at shalat dhuha dan agar aku melaksanakan shalat witir sebelum tidur.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Chart VI
Allah akan mencukupi hari-hari kita
pagi ngisi absen, sore gajian…
عَنِ النَّوَّاسَ بنِ سَمْعَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ :
قَالَ اللهُ عَزَّوَجَلَّ :” ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزَنْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ فيِ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ
(رواه أحمد والترمذي وأبو داود والنسائي)
Dari Nawwas bin Sam’an rodhiyallahu ‘anhu, Bahwasanya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah `Azza Wa Jalla berfirman, “Wahai anak Adam, cukuplah bagi-Ku empat rakaat di awal hari, maka Aku akan mencukupimu di sore harimu.”
(HR. Ahmad, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ ، وَأَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: عَنْ رَسُوْلِ اللهِ :
عَنِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ أَنَّهُ قَالَ« ابْنَ آدَمَ ارْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ » أخرجه الترمذي
Dari Abi Darda’ dan Abi Dzarr rodhiyallahu ‘anhuma, Dari Allah tabaroka wata’ala, Sesungguhnya Allah tabaroka wata’ala berfirman:
“Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat dari awal hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya.”
(Ditakhrij oleh Imam Tirmidzi)

Chart VII
Tiap raka’atnya mengandung keutamaan
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو السَّهْمِيِّ ، يَرْفَعْهُ إِلَى أَبِي ذَرٍّ ، وَهُوَ يَرْفَعْهُ إِلَى النَّبِيِّ قَالَ :
مَنْ صَلَّى الضُّحَى سَجْدَتَيْنِ لَمْ يُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِينَ ،
وَمَنْ صَلَّى أَرْبَعًا كُتِبَ مِنَ الْقَانِتِينَ ،
وَمَنْ صَلَّى سِتًّا كُفِيَ ذَلِكَ الْيَوْمِ ،
وَمَنْ صَلَّى ثَمَانِيًا كَتَبَهُ اللَّهُ مِنَ الْعَابِدِينَ ،
وَمَنْ صَلَّى ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ ،
وَمَا مِنْ يَوْمٍ وَلا لَيْلَةٍ إِلاَّ وَلِلَّهِ فِيهِ مِنَ يَمُنُّ بِهِ عَلَى عِبَادِهِ بِصَدَقَةٍ ، وَمَا مَنَّ اللَّهُ عَلَى عِبَادِهِ بِشَيْءٍ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ يُلْهِمَهُمْ ذِكْرَهُ (أخرجه الطبرانى)
Dari Abdillah bin ‘Amr Assahmiy, beliau merafa’kan kepada Abi Dzarr, dan Abi Dzarr merafa’kannya kepada Nabi , beliau bersabda:
“ Siapa saja yang melaksanakan dua raka’at shalat dhuha maka dia tidak akan dicatat sebagai hamba yang lalai, Siapa saja yang melaksanakan empat raka’at maka dia akan dicatat sebagai hamba yang taat, Siapa saja yang melaksanakan enam raka’at maka akan dicukupka kebutuhannya pada hari itu, Siapa saja yang melaksanakan delapan raka’at maka dia akan dicatat sebagai ahli ibadah, Siapa saja yang melaksanakan duabelas maka Allah akan membangunkan rumah di surga,
Tidak ada satu hari atau satu malampun kecuali Allah memilih hamba yang diberi nikmat untuk bisa bersedekah dan tidaklah Allah memberikan sesuatu yang lebih baik kepada hamba-Nya selain memberikan petunjuk untuk bisa berdzikir (mengingat-Nya)
(HR. Thabrani)
لِخَبَرِ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : قَالَ النَِّبيُّ :
إِنْ صَلَّيْتَ الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ لَمْ تُكْتَبْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ،
أَوْ أَرْبَعًا كُتِبْتَ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ،
أَوْ سِتًا كُتِبْتَ مِنَ الْقَانِتِيْنَ،
أَوْ ثَمَانِيًا كُتِبْتَ مِنَ الْفَائِزِيْنَ،
أَوْ عَشْرًا لَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكَ ذَلِكَ الْيَوْمَ ذَنْبٌ،
أَو ثِنْتَيْ عَشْرَةَ بَنَى اللهُ لَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ. (رواه البيهقي)
Bersumber dari khabar Abu Dzarr rodhiyallahu ‘anhu: Nabi bersabda:
“Bila engkau melaksanakan dua raka’at shalat dhuha maka engkau tidak dicatat sebagai hamba yang lalai, atau empat raka’at maka engkau akan dicatat sebagai hamba yang muhsinin (berbuat baik), atau enam raka’at engkau akan dicatat sebagai hamba yang ta’at, atau delapan maka engkau akan dicatat sebagai hamba yang juara, atau sepuluh maka pada hari itu dosamu tidak dicatat, atau duabelas maka Allah akan membangunkan rumah di surga.” (HR. Al-Bayhaqi)

Chart VIII
Pahala dua raka’atnya setara dengan sedekah persendian yang tinggi sekali nilainya
عَنْ أَبيِ ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :
( يُصْبِحُ عَلىَ كُلِّ سُلاَمَي مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً ، فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَيُجْزِي مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى ) رواه أحمد ومسلم وأبو داود.
Dari Abi Dzarr rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah bersabda:
“Di setiap sendi seorang dari kamu terdapat sedekah,
setiap tasbih (ucapan subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (ucapan alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (ucapan lailahaillallah) adalah sedekah, setiap takbir (ucapan Allahu akbar) adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah dari kemungkaran adalah sedekah.
Dan dua rakaat Dhuha sebanding dengan pahala semua itu.”
(HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)

Chart IX
Dua raka’atnya sama dengan nilai sedekah dari 360 sendi kita
عَنْ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله قَالَ :
( فيِ الْاِنْسَانِ سِتُّوْنَ وَثَلاَثُمِائَةِ مِفْصَلٍ عَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مِفْصَلٍ مِنْهَا صَدَقَةٌ )
قَالُوْا فَمَنِ الَّذِي يُطِيْقُ ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : ( النَّخَامَةُ فيِ الْمَسْجِدِ يُدْفِنُهَا أَوِ الشَّئُ يُنَحِّيْهِ عَنِ الطَّرِيْقِ ، فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْهُ ) رواه أحمد وأبو داود.
Dari Buraidah rodhiyallahu ‘anhu, Bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Di dalam tubuh manusia ada 360 sendi, dan dia harus mengelurakan sedekah untuk tiap persendiannya itu, setiap sendi satu sedekah.” Para sahabat bertanya, “Siapa yang sanggup melakukan itu ya Rasulullah?” Beliau bersabda, “Menghilangkan dahak (kotoran) di masjid, atau membuang sesuatu yang mengganggu di jalan, maka bila tidak sanggup cukup diganti dengan dua raka’at shalat dhuha yang pahalanya serupa dengannya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Chart X
Menjaga shalat subuh berjama’ah akan mendapat pahala sempurnanya ibadah haji dan umrah
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :
مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ فىِ جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ حَتىَّ تَطْلُعُ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ, كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ, تَامَّةٍ, تَامَّةٍ, تَامَّةٍ . (رواه الترمذى)
Anas rodhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, beliau berkata, Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. Tirmidzi)

Chart XI
Dhuha, tempat usaha atau bisnis terdekat jaraknya dari rumah, keuntungannya lebih banyak, pulangnya lebih cepat
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرُو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : بَعَثََ رَسُولُ اللهِ رضي الله عنه سَرِيَّةً فَغَنِمُوْا وَأَسْرَعُوا الرَّجْعَةَ ، فَتَحَدَّثَ النَّاسُ بِقُرْبِ مَغْزَاهُمْ وَكَثْرَةِ غَنِيْمَتِهِمْ وَسُرْعَةِ رَجْعَتِهِمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ( أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلىَ أَقْرَبَ مِنْهُمْ مَغْزًى وَأَكْثَرَ غَنِيْمَةً وَأَوْشَكَ رَجْعَةً ؟ مَنْ تَوَضَّأَ ثُمَّ غَدَا إِلىَ الْمَسْجِدِ لِسُبْحَةِ الضُّحَى فَهُوَ أَقْرَبَ مَغْزًى وَأَكْثَرَ غَنِيْمَةً وَأَوْشَكَ رَجْعَةً )
(رواه أحمد والطبراني وأبو يعلى)
Abdillah bin ‘Amru rodhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, Rasulullah mengirim sebuah pasukan perang. Lalu mereka mendapatkan harta rampasan perang dan kembali dengan segera. Meraka akhirnya saling berbicara tentang dekatnya tujuan (tempat) perang dan banyaknya ghanimah (keuntungan) yang diperoleh dan cepat kembalinya (karena dekat jaraknya). Lalu Rasulullah bersabda; “Maukah kalian aku tunjukkan kepada tujuan paling dekat dari mereka (musuh yang akan diperangi), paling banyak ghanimah (keuntungan) nya dan lebih cepat kembalinya? Mereka menjawab; “Ya! Rasul berkata lagi: “Barangsiapa yang berwudhu’, kemudian masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat Dhuha, dia lah yang paling dekat tujuanannya (tempat perangnya), lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kembalinya.”
(HR. Ahmad, Thabrani dan Abu Ya’la)