Senin, 31 Oktober 2011

Sistem Religi Masyarakat Kampung Naga dalam Teori Sosiologi


Sistem Religi Masyarakat Kampung Naga
(Tinjauan dari perspektif Teori-teori Sosiologi tentang Agama dan Kepercayaan)
oleh : Jamal ArieVansyah


Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekolompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya. Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. Maka dari itu, tidak heran jika agama islam yang mereka anut (karena memang semuanya mengaku beragama islam) tidak seperti syariat islam yang dijalankan umat islam biasanya. Hal ini diduga karena adanya pengaruh kepercayaan dari leluhur mereka. Oleh karena itu Penelitian ini dikhususkan kepada Sistem Religi Masyarakat Kampung Naga, dan pengaruh kepercayaan masyarakat setempat yang diwariskan oleh leluhur Kampung Naga yaitu Eyang Singaparna hingga memunculkan “believe” dalam diri masyarakat Kampung Naga terhadap adanya pantangan (pamali) terhadap segala hal yang tidak diajarkan oleh leluhurnya. Sebagai kajian teori, maka akan digunakan beberapa teori dari para tokoh sosiologi yang berkenaan dengan masalah Agama dan Sistem kepercayaan.











Sistem Religi Masyarakat Kampung Naga

A.    Kepercayaan Animisme dan pengaruhnya bagi Sistem Religi Masyarakat Kampung Naga.
Masyarakat Kampung Naga percaya bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tertentu pula[1]. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker atau sanget. Itulah sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka menyimpan sasajen (sesaji) sebagai bentuk penghormatan terhadap makhluk-makhluk halus agar masyarakat kampung naga tehindar dari petaka.
Edward Burnet Taylor (1832-1917)[2], seorang ilmuwan inggris, menjelaskan bahwa alam semesta ini penuh dengan jiwa-jiwa yang bebas merdeka. E.B. Taylor tidak lagi menyebutnya sebagai jiwa namun spirit atau makhluk halus. Terdapat perbedaan pengertian antara jiwa atau roh dengan makhluk halus. Roh adalah bagian halus dari setiap makhluk yang mampu hidup terus sesudah jasadnya mati, sedangkan makhluk halus adalah sesuatu yang ada karena memang dari awal sudah ada. Jadi, pikiran manusia telah mentransformasikan kesadaran akan adanya jiwa yang akhirnya menjadi kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus. Makhluk-makhluk halus itulah yang dianggap menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Makhluk halus itu mampu berbuat berbagai hal yang tidak dapat diperbuat oleh manusia. Berdasarkan kepercayaan semacam itu, makhluk halus menjadi obyek penghormatan dan penyembahan manusia dengan berbagai upacara keagamaan berupa do’a, maupun sesajen. Kepercayaan semacam itulah yang oleh E.B. Taylor disebut Animisme[3], yaitu suatu kepercayaan terhadap adanya roh-roh nenek moyang.
Masyarakat kampung naga juga melakukan upacara-upacara adat sebagai bentuk ritual keagamaan terhadap para leluhur mereka. Upacara-upacara tersebut seperti upacara hajat sasih yang di lakukan sebagai tanda penghormatan kepada Eyang Singaparna sebagai leluhur kampung naga. Upacara dilakukan dengan khidmat seraya memohon keselamatan dan kesejahteraan. Ritual kepercayaan seperti itulah yang mempengaruhi sistem religi masyarakat kampung naga. sehingga meskipun Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat di tempat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam namun syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya[4]. Bagi masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan agamanya sangat patuh pada warisan nenek moyang. Umpamanya sembahyang lima waktu: Subuh, Dzuhur, Ashar, Magrib, dan salat Isya, hanya dilakukan pada hari Jumat. Pada hari-hari lain mereka tidak melaksanakan sembahyang lima waktu. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jumat. Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari Raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri.

B.     Kepercayaan Dinamisme dan istilah Tabu atau Pamali yang sangat “Keramat” di Masyarakat Kampung Naga.
Masyarakat kampung naga percaya bahwa alam semesta seperti gunung, lautan, tanah, gua, sungai, dan sebagainya memiliki kekuatan-kekuatan yang bersifat supernatural. Kekuatan tersebut dianggap melebihi dari kekuatan yang pernah diketahui oleh manusia. Adanya peristiwa-peristiwa alam seperti gunung meletus, banjir, longsor, terjadi karena manusia yang hidup di alam tersebut sudah tidak bersikap memelihara dan melestarikan alam. Sehingga alam yang semula tenang dan damai seakan-akan “marah” karena perilaku tidak baik manusia. Seperti jika menebang pohon dengan sembarangan di Hutan Bukit Cikuray, maka akan celaka karena sudah membuat kerusakan. Logikanya adalah  jika pohon-pohon tersebut ditebang tentunya sangat berbahaya, kemungkinan akan terjadi bencana longsor dan banjir karena tekstur tanah yang miring. Selain itu, pohon-pohon tersebut dapat berfungsi mencegah erosi secara langsung dari bukit Cikuray yang berada diatas hutan.
R.R. Marret menjelaskan bahwa agama dan sikap religius manusia terjadi karena adanya kejadian luar biasa yang menimpa manusia yang terdapat di lingkungan alam sekelilingnya[5]. Menurutnya terlalu rumit bila kesadaran keagamaan itu muncul ketika manusia sudah menyadari akan adanya jiwa. Jiwa merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, begitu pula dengan makhluk halus. Jadi terlalu kompleks bila harus mengkaji tentang hakikat roh maupun makhluk halus. Marret mengajukan Teori Kekuatan luar biasa yang menjelaskan bahwa pangkal dari segala kelakuan keagamaan pada manusia di timbulkan oleh suatu perasaan rendah diri terhadap adanya gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang dianggap luar biasa dalam kehidupan manusia. Maka dari itulah dia menganggap bahwa kekuatan supernatural dari alam lebih dahulu mempengaruhi system kepercayaan manusia sebelum mempercayai akan adanya kekuatan dari makhluk halus. Asumsi marret inilah yang memunculkan kepercayaan preanisme atau lebih dikenal dengan istilah dinamisme[6], yaitu suatu kepercayaan terhadap adanya kekuatan supernatural dari alam.
Pada Masyarakat Kampung Naga Bencana yang terjadi Selain di sebabkan karena perilaku tidak baik dari manusia juga di sebabkan oleh perilaku yang melanggar hukum adat atau dalam istilah masyarakat kampung naga disebut hal yang Tabu atau Pamali. Istilah Tabu atau Pamali ini merupakan salah satu kebiasaan yang ada dan di yakini oleh masyarakat pada umumnya namun sangat kental berada pada masyarakat pedesaan yang masih tradisional. Kebiasaan ini mengindikasikan adanya sebuah larangan (baik yang bersifat sosial Maupun kultural) yang diwariskan secara turun temurun dalam masyarakat tersebut. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang dalam masyarakat tersebut. Contoh hal yang Tabu atau Pamali di masyarakat Kampung Naga Seperti dalam pembangunan rumah[7],  Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong). Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus. Uniknya, masyarakat yang secara ekonominya lebih baik pun tempat tinggalnya harus sesuai dengan ciri khas gaya arsitektur dan ornament perkampungan naga, ini merupakan etika dalam membangun rumah sesuai dengan adat istiadat yang ada di kampung naga karena jika tidak sesuai atau melanggar ketentuan maka suatu saat akan mendapat musibah.

C.    Keterbatasan “Cara berpikir” Masyarakat Kampung Naga.
Masyarakat kampung naga merupakan masyarakat yang kebudayaannya masih sangat sederhana di mana masyarakatnya masih sangat memelihara adat istiadat dari para leluhurnya. Masyarakat ini menyadari bahwa semua permasalahan yang mereka rasakan tidak semuanya bisa memperoleh jawaban dari proses berfikir melalui akal, karena anggapan mereka akal tidak selalu bisa menafsirkan hukum adat yang berlaku. Ketika Sesuatu yang disebut dengan pamali ataupun tabu sehingga pantang untuk dilanggar maka mereka hanya bisa memahami sebagai aturan adat yang tidak boleh dilanggar, menghormati para leluhur, atau agar terhindar dari petaka. Semisal pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal-usul kampung Naga, mereka tidak terlalu mempermasalahkan asal-usul mengapa pada hari-hari tersebut tidak dibolehkan membicarakan asal-usul adat SaNaga, karena memang sulitnya untuk menjelaskan atau mencari informasi yang detail dan akurat berkenaan dengan informasi asal-usul adat seperti itu selain juga karena pamali untuk diceritakan[8]. Mereka juga menganggap dengan mematuhi adat seperti itu, ada hal magis yang di tempuh dalam menjalankan aturan adat. ketika Mereka menyadari ada kekuatan di luar keterbatasan akal mereka yang mendiami tempat-tempat tertentu yang dianggap suci maupun angker. Dari situlah timbul anggapan bahwa kekuatan-kekuatan luar biasa tersebut tidak akan mendatangkan mala petaka terhadap masyarakat kampung naga bilamana masyarakat setempat tidak melanggar ajaran dari para leluhur.
James G. Frazer dalam Teori Batas Akalnya menyatakan bahwa permulaan terjadinya agama dikarenakan manusia mengalami gejala yang tidak dapat diterangkan oleh akalnya. Menurut Frazer[9], manusia biasa memecahkan berbagai persolaan hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya Tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya, dan batas akal itu meluas sejalan dengan meluasnya perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu makin maju kebudayaan manusia makin luas batas akalnya. Pada masyarakat yang kebudayaannya masih sangat sederhana batas akal manusia masih sangat sempit. Oleh karena itulah berbagai persoalan hidup banyak yang tidak dapat di pecahkan dengan akal mereka. Maka mereka memecahkannya melalui magis atau ilmu gaib. Magis adalah segala perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud tertentu melalui berbagai kekuatan yang ada di alam semesta serta seluruh kompleksitas anggapan yang ada di belakangnya[10]. Pada mulanya manusia hanya menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Lambat laun terbukti banyak perbuatan magisnya itu tidak ada hasilnya. Oleh karena itulah ia mulai percaya bahwa alam ini di diami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa dari manusia. Maka mereka mulai mencari hubungan yang baik dengan makhluk-makhluk halus yang mendiami alam itu. Dengan demikian hubungan baik ini menyebabkan manusia mulai mempercayakan nasibnya kepada kekuatan yang di anggap lebih dari dirinya yang pada akhirnya memunculkan sistem religi.

D.    Masyarakat Kampung Naga dalam menghadapi “Krisis”.
Pada masyarakat kampung naga yang masih sangat memegang adat istiadat dari leluhurnya, mereka percaya bahwa dengan menjalankan kehidupan dengan tidak melanggar aturan-aturan hukum adat yang berlaku maka mereka telah melestarikan ajaran dari para leluhur mereka, dampaknya adalah mereka akan terhindar dari malapetaka. Mereka melaksanakan ritual-ritual (segala sikap perbuatan yang menjadi gambaran dari sistem kepercayaan yang di anut) tertentu dari sistem kepercayaan yang mereka yakini akan mendatangkan kesejahteraan dan kedamaian. Ritual-ritual tersebut sebagai penggambaran dari sistem religi yang mereka yakini untuk menjawab segala hal ketidakpastian, kelangkaan, dan ketidakberdayaan. Mereka beranggapan dengan menjalankan ritual-ritual tersebut maka mereka telah berusaha untuk  mencari solusi dari kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis (terutama berupa bencana, seperti sakit dan maut) dalam hidupnya. Seperti ketika masyarakat kampung naga melakukan ritual upacara hajat sasih yang dilaksanakan oleh seluruh warga adat SaNaga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga (yaitu mereka yang tinggal di kawasan kampung naga) maupun di luar Kampung Naga (yaitu mereka yang secara administratif sudah pindah ke daerah lain seperti Garut, Bogor, Cirebon namun masih punya ikatan adat dengan masyarakat yang tinggal di kawasan kampung naga)[11]. Maksud dan tujuan inti dari upacara hajat sasih adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, yaitu Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang telah diberikan kepada seluruh warga.
Menurut M. Crawley [12] yang kemudian di uraikan secara luas dan terperinci oleh A.Van Gennep [13] menjelaskan bahwa kelakuan keagamaan manusia mulanya muncul untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam kehidupan manusia itu sendiri. Menurut kedua sarjana ini, Dalam jangka waktu sejarah hidupnya manusia mengalami banyak krisis yang terjadi dalam masa-masa tertentu. Krisis tersebut menjadi obyek perhatian manusia dan sangat menakutkan. Betapapun bahagianya seseorang, ia harus ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalam hidupnya. Berbagai krisis tersebut terutama berupa bencana seperti sakit dan maut yang memang sangat sukar untuk di hindari walaupun dihadapi dengan kekuasaan dan kekayaan harta benda. Karena selama hidupnya ada beberapa masa krisis, maka manusia membutuhkan sesuatu untuk memperteguh dan menguatkan dirinya. Perbuatan yang berupa upacara sakral pada masa krisis merupakan pangkal dari keberagamaan manusia.

E.     Eyang Singaparna sebagai Simbol Masyarakat Kampung Naga.
Masyarakat kampung naga merasakan adanya getaran jiwa terhadap lingkungan dimana mereka tinggal. Hal ini terlihat ketika mereka berprilaku baik terhadap alam sekitar mereka. Menurut mereka prilaku yang baik itu tergambar ketika mereka memelihara dan menaati adat istiadat dari para leluhur mereka. Dengan tidak melanggar hukum adat maka dimungkinkan masyarakat kampung naga akan terhindar dari mala petaka. Rasa keterikatan, bakti, maupun rasa cinta terhadap sesama masyarakat agar terhindar dari marabahaya itulah yang menjadi dasar timbulnya sentiment kemasyarakatan.
Durkheim (1965)[14] mengemukakan Teori baru yang menjelaskan bahwa agama yang permulaan itu muncul karena adanya suatu getaran, suatu emosi yang timbul dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai sesama warga masyarakat (sentiment kemasyarakatan). Durkheim menyebutnya sebagai getaran jiwa atau emosi keagamaan. Sentiment kemasyarakatan dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleksitas perasaan yang mengandung rasa terikat, bakti, cinta, dan perasaan lainnya terhadap masyarakat di mana ia hidup. Sentiment kemasyarakatan tersebut harus selalu dipelihara agar tidak melemah dan menjadi laten, maka dari itu harus selalu dikobarkan dengan mengadakan satu kontraksi masyarakat  yaitu dengan mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan raksasa. Pertemuan tersebut merupakan suatu keadaan dimana seluruh anggota masyarakat berkumpul dalam suatu acara besar yang pelaksanaannya sudah diyakini bersama dapat mempererat rasa kesatuan seluruh anggota masyarakat.
Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentiment kemasyarakatan membutuhkan suatu obyek tujuan. Sifat yang menyebabkan sesuatu itu menjadi obyek dari emosi keagamaan bukan karena sifat luar biasanya, anehnya, megahnya, atau ajaibnya, melainkan tekanan anggapan umum masyarakat. Obyek itu ada karena terjadinya satu peristiwa secara kebetulan di dalam sejarah kehidupan suatu masyarakat masa lampau yang menarik perhatian orang banyak di dalam masyarakat tersebut. Obyek yang menjadi tujuan emosi keagamaan juga obyek yang bersifat keramat. Dan objek keramat itu sebenarnya merupakan suatu Lambang masyarakat (Totem)[15].
Pada Masyarakat Kampung Naga, Contoh dari prilaku baik yang tergambar dari prilaku memelihara adat istiadat mereka yaitu ketika mereka melaksanakan ritual upacara hajat sasih. Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam[16]. Sebelumnya para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Upacara ini disebut beberesih atau susuci. Selesai mandi mereka berwudlu di tempat itu kemudian mengenakan pakaian khusus putih-putih. Lalu Secara teratur mereka berjalan menuju masjid. Sebelum masuk mereka mencuci kaki terlabih dahulu dan masuk kedalam sambil menundukkan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena masjid merupakan tempat beribadah dan suci. Kemudian masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan duduk sambil memegang sapu lidi tersebut. Sapu lidi itu pada nantinya digunakan untuk membersihkan Makam Eyang Singaparna. Setelah membersihkan makam mereka berdoa dalam hati untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing peserta. Setelah itu barulah membaca ayat-ayat Suci Al-Quran dan diakhri dengan doa bersama. Dari ritual itu maka bisa diambil kesimpulan bahwa Makam Eyang Singaparna merupakan simbol atau lambang keramat bagi kehidupan masyarakat kampung naga.

F.     Eyang Singaparna sebagai Leluhur Masyarakat Kampung Naga.
Masyarakat kampung naga begitu menghormati leluhurnya yaitu Eyang Singaparna. Dinamakan Singaparna karena ia dapat menaklukkan singa yang sedang mengamuk dengan kesaktiannya. Singaparna dikenal sebagai seorang ulama sakti, putra dari Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke Linggawangi. Ketika itu, Kerajaan Galunggung diserang oleh Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Prabu Surawisesa (1535-1543)[17] karena mereka telah menjadi pemeluk agama Islam, sehingga tidak lagi menjadikan Kerajaan Sunda sebagai pusat. Menghadapi serangan itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu Singaparana dibekali ilmu yang membuat dirinya bisa nyumput bumi dina caang (bersembunyi di keramaian).
Eyang Singaparna merupakan abdi dari Syeikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung jati. Eyang Singaparna ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Masyarakat kampung naga meyakini bahwa Eyang Singaparna merupakan leluhur mereka. Di tempat tersebut, Singaparna oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparna[18]. Dari sejarahnya memang diduga sebelum Embah Singaparna menyebarkan ajarannya, ia mendapatkan petunjuk atau ilapat dari tuhan untuk  bersemedi dan pada akhirnya menetap di suatu tempat yang kini adalah kawasan kampung naga. Maka dari itulah Sampai sekarang masyarakat kampung naga berkeyakinan bahwa dari ajaran yang dibawa Eyang Singaparna-lah sistem religi muncul dan menjadi suatu pedoman hidup masyarakat setempat.
Menurut Andrew Lang[19], seorang antropolog dan ilmuwan inggris yang menyatakan bahwa kelakuan religius manusia terjadi karena mendapat wahyu dari Tuhan. Lang yang juga sebagai ahli kesusastraan banyak membaca tentang kesusastraan rakyat dari banyak suku bangsa di dunia. Dalam dongeng-dongeng itu, Lang sering mendapatkan adanya seorang tokoh dewa yang oleh suku-suku bangsa yang bersangkutan dianggap dewa tertinggi. Kepercayaan pada seorang tokoh dewa tertinggi tampak pada suku-suku bangsa yang sangat rendah kebudayaannya dan yang hidup dari berburu dan meramu. Keadaan itu membuktikan bahwa kepercayaan terhadap satu tuhan itu tidak timbul karena pengaruh agama nasrani atau agama islam. Kepercayaan seperti itu dalam perkembangannya bahkan tampak terdesak oleh kepercayaan akan makhluk-makhluk halus, dewa-dewi alam, roh, dan hantu. Lang menyimpulkan bahwa kepercayaan kepada dewa tertinggi merupakan suatu kepercayaan yang sudah tua, dan mungkin merupakan bentuk religi manusia yang tertua.
  

Dokumentasi Kampung Naga


Bangunan rumah di Kampung Naga yang hanya menghadap ke arah utara dan selatan.
22052011062

         Kelestarian Alam yang tetap dijaga oleh Masyarakat Kampung Naga.

22052011331

     Potret kuncen yang sedang memberi wejangan di Patemon (kiri) dan para peneliti (kanan).




DAFTAR PUSTAKA


Kahmad, Dadang. Dr. H. Msi. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2006.
Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion. New York : Oxford  University Press. 1996.
Gennep, A. Van.  Rites de Passage. 1910.
Crawley, M. The True of  Life. 1905.
Lang, Andrew. The Making of Religion. 1888.
Taylor, E.B. The Primitive Culture. 1872.
Marret, R.R. The Threshold of Religion.
Durkheim, Emile. The Elementary Forms of The Religious Life. Free Press Paperback, Macmillan Pulishing Cop. Inc.
Ibid.
www.tasikmalaya.go.id, dieny-yusuf.com, www.westjava-indonesia.com.
Wikipedia.com kampung naga.









[1] Wikipedia.com kampung naga. Di akses pada tanggal 20 Mei 2011. Informasi Diperkuat melalui hasil wawancara dengan ibu “A” yang merupakan Warga Kampung Naga. Beliau berumur sekitar 50 tahunan. Penelitian dilaksanakan pada hari Minggu 22 Mei 2011.
[2] Taylor, E.B. The Primitive Culture. 1872.
[3] Kahmad, Dadang. Dr. H.Msi. Sosiologi Agama. Hal 25.
[4] Wikipedia.com kampung naga. Di akses pada tanggal 20 Mei 2011. Informasi Diperkuat melalui hasil wawancara dengan ibu “A” yang merupakan Warga Kampung Naga. Beliau berumur sekitar 50 tahunan. Penelitian dilaksanakan pada hari Minggu 22 Mei 2011.
[5] Marret, R.R. The Threshold of Religion.
[6] Kahmad, Dadang. Dr. H.Msi. Sosiologi Agama. Hal 28.
[7] Wikipedia.com kampung naga. Di akses pada tanggal 20 Mei 2011. Informasi Diperkuat melalui hasil wawancara dengan ibu “A” yang merupakan Warga Kampung Naga. Beliau berumur sekitar 50 tahunan. Penelitian dilaksanakan pada hari Minggu 22 Mei 2011.
[8] Informasi diperoleh melalui Wawancara dengan ibu “A” yang merupakan Warga Kampung Naga. Beliau berumur sekitar 50 tahunan. Penelitian dilaksanakan pada hari Minggu 22 Mei 2011.
[9] Lihat Daniel L. Pals. Seven Theories of Religion. New York : Oxford  University Press. 1996. Hal 30.
[10] Ibid. hal 32.
[11] Wawancara dengan ibu “A” yang merupakan Warga Kampung Naga. Beliau berumur sekitar 50 tahunan. Penelitian dilaksanakan pada hari Minggu 22 Mei 2011.
[12] Crawley, M. The True of  Life. 1905.
[13] Gennep, A. Van.  Rites de Passage. 1910.
[14] Durkheim, Emile. The Elementary Forms of The Religious Life. Free Press Paperback, Macmillan Pulishing Cop. Inc.
[15] Kahmad, Dadang. Dr. H.Msi. Sosiologi Agama. Hal 30.
[16] Wawancara dengan ibu “A” yang merupakan Warga Kampung Naga. Beliau berumur sekitar 50 tahunan. Penelitian dilaksanakan pada hari Minggu 22 Mei 2011.
[17] http://g13b.blogdetik.com, diakses 20 Mei 2011.
[18] www.tasikmalaya.go.id, dieny-yusuf.com, www.westjava-indonesia.com. Di akses pada tanggal 20 Mei 2011.
[19] Lang, Andrew. The Making of Religion. 1888.

Anthony Giddens dan pemikiran gemilangnya

  ANTHONY GIDDENS
(Teori Strukturasi, Modernitas, dan Jalan ketiga)
oleh : Jamal ArieVansyah


                                  
BAB I
PENDAHULUAN

Dunia telah menapaki sebuah era baru: era globalisasi. Pasca-keruntuhan Uni Sovyet di awal dekade 1990-an, komunisme seakan menjadi sebuah dagangan yang tidak lagi laku. Era dianggap telah berubah, seakan-akan tidak ada lagi alternatif baru (Thatcher, 1992), dan ini disangka sebagai akhir dari sejarah dengan kemenangan demokrasi-liberal (Fukuyama, 1989). Dunia dikuasai oleh sebuah kekuatan unipolar yang hegemonik, dengan ancaman bahwa jika tidak taat pada kekuatan tersebut, mereka akan kehilangan harapan untuk hidup.
Benarkah demikian, bahwa tidak ada lagi jalan alternatif di dunia ini selain jalan neoliberalisme? Anthony Giddens menawarkan hal sebaliknya. Bagi Giddens, masih ada sepercik harapan dari jalan yang ia sebut sebagai “jalan ketiga”. Giddens, yang mendasarkan pandangannya pada teori strukturasi, berpandangan bahwa liberalisme tidak selamanya menawarkan kebaikan; masih ada celah yang harus dibenahi dalam struktur sosial.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep dasar pemikiran Anthony Giddens
Anthony Giddens adalah teoritisi sosial inggris masa kini yang sangat penting dan salah seorang dari sedikit teoritisi yang sangat berpengaruh di dunia. Giddens lahir di Edmonton, London Utara, pada 18 Januari 1938, dari sebuah keluarga karyawan bus umum, yang di rumahnya sama sekali tidak memiliki buku.  Anthony menjadi satu-satunya anak dari keluarga itu yang bersekolah tinggi. ia belajar di universitas Hull, di The London School of Economic, dan di Universitas London. Tahun 1961 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Leicester. Karya awalnya bersifat empiris dan memusatkan perhatian pada masalah bunuh diri. Tahun 1969, ia beralih jabatan menjadi dosen sosiologi di Universitas Cambridge dan sebagai anggota King’s college. Dalam karya-karyanya itu selangkah demi selangkah ia mulai membangun perspektif teoritisnya sendiri, yang terkenal dengan teori strukturasi.
Menurut Dr. Ignatius Wibowo, Giddens memulai petualangan intelektual dengan menelaah pemikiran tokoh-tokoh besar dalam sosiologi, Karl Marx, Emile Durkheim, serta Max Weber. Hasilnya ia terbitkan sebagai buku, Capitalism and Modern Social Theory. An analysis of the Writings of Marx, Durkheim and Max Weber (1971). Setelah itu ia mengarahkan refleksinya ke berbagai pemikiran yang sudah menjadi mazhab dewasa ini, seperti Fungsionalisme Talcot Parson, Interaksionisme Simbolis Erving Goffman, Marxisme, Strukturalisme Ferdinand de Saussure dan Levi Strauss, Post-Strukturalisme Michel Foucault, pemikiran Jacques Derrida, dsb. Dan pada akhirnya Tahun 1984 karya Giddens mencapai puncaknya dengan terbitnya buku the constitution of society outline of the theory of society, yang merupakan pernyataan tunggal terpenting tentang perspektif teori Giddens.
Petualangan intelektualnya kemudian menemukan momentum dengan pemahaman Giddens mengenai struktur sosial. Giddens menyebut bahwa, “social structures are both constituted by human agency, and yet at the same time are the very medium of this constitution”.[1] Pernyataan Giddens ini mengisyaratkan bahwa struktur sosial dilatarbelakangi oleh human agency, atau hubungan antara peraturan dan perilaku. Aturan (rules) mempengaruhi perilaku dan tindakan yang dibuat oleh manusia. Aturan ini, ketika dilembagakan secara sosial, membentuk struktur yang terus direproduksi menjadi sebuah sistem. Proses reproduksi struktur hingga berinteraksi menjadi sistem tersebutlah yang dinamakan oleh Giddens sebagai proses strukturasi.
Giddens mengatakan bahwa Obyek utama dari ilmu sosial bukanlah peran sosial (social role) seperti dalam Fungsionalisme Talcot Parsons, bukan kode tersembunyi (hidden code) seperti dalam Strukturalisme Claude Levi Strauss, bukan juga dari keunikan situasional seperti dalam Interaksionisme Simbolis Erving Goffman. Bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan struktur bukan pula pelaku perorangan, melainkan titik temu antara keduanya. Oleh karena itulah teori strukturasi merupakan “jalan tengah” untuk mengakomodasi dominasi struktur atau kekuatan sosial dengan pelaku tindakan (agen).
B.     Teori Strukturasi
Teori strukturasi dipelopori oleh Anthony Giddens, seorang sosiolog Inggris yang mengembangkan apa yang disebutnya sebagai sosiologi sehari-hari. Sosiologi didasarkan pada pemahamanya atas strukturasi dalam sistem sosial. Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualisme (pertentangan) dan mencoba mencari likage/pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionisme-fenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan neturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperialisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakhiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Giddens menyelesaikan perdebatan antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan ‘eksternal’ dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia. Menurut Giddens,[2] struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat ‘internal’. Struktur tidak bisa disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifat-sifat struktur sistem sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar kendali aktor-aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial para aktor yang dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitas-ativitasnya yang bisa merealisasikan sistem-sistem itu. Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan kita, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki “unintended consequences” (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya.
C.    Modernitas dan Konsekuensi-konsekuensinya
Hal menarik lain yang patut kita analisis dari pandangan Anthony Giddens adalah pandangannya mengenai modernisasi. Ia beranggapan, modernisasi dapat dimaknai dalam dua perspektif[3]: sebagai mesin perusak dari nilai dan tradisi lokal, namun juga bisa menjadi sebuah peluang untuk menuju tatanan masyarakat yang madani. Giddens melukiskan kontradiksi antara globalisasi dalam dua perspektif tersebut pada teorinya mengenai tipologi masyarakat tradisional dan post-tradisional.
Dalam masyarakat yang bertipe tradisional, aktivitas individu tidak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang berlebihan, karena pilihan yang tersedia telah mengacu pada pradeterminasi, berupa kebiasaan, tradisi, atau nilai. Di sisi lain, masyarakat post-tradisional lebih cenderung tidak memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang “pakem” dilakukan di masa sebelumnya. Justru, masyarakat post-tradisional lebih memperhatikan pertimbangan logis-rasional untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi ke depan. Masyarakat post-tradisional inilah yang disebut sebagai masyarakat modern. Dalam satu perspektif, masyarakat modern lebih berpikiran rasional; ia dapat memperhitungkan apa yang akan terjadi ke depan dengan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan pribadi, sehingga struktur yang berlaku bisa saja berubah setiap saat. Namun, dalam perspektif lain, modernitas ini justru berkorelasi negatif dengan sustainability dan lingkungan, karena pikiran rasional cenderung berorientasi pada modal dan keuntungan, dengan melepaskan alam sebagai basis kerja. Inilah yang dikritik oleh Giddens.
Giddens juga melihat modernitas sekarang sebagai “juggernaut” (panser raksasa) yang lepas kontrol.
“kehidupan kolektif modern ibarat panser raksasa yang tengah melaju hingga taraf tertentu bisa dikemudikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur-lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga sewaktu-waktu dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya. Perjalanannya bukannya sama sekali tak menyenangkan atau tidak bermanfaat; adakalanya memang menyenangkan dan berubah sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi, sepanjang institusi modernitas ini terus berfungsi, kita takkan pernah mampu mengendalikan sepenuhnya baik arah maupun kecepatan perjalanannya. Kita pun takkan pernah merasa aman sama sekali karena kawasan yang dijelajahinya penuh dengan bahaya.[4]
Istilah “juggernaut” (panser raksasa) digunakan Giddens untuk menggambarkan kehidupan modern sebagai sebuah “dunia yang tak terkendali” (runaway world). Citra panser raksasa dimaksudkan Giddens untuk menerangkan bahwa mekanisme modern jauh lebih besar kekuasaannya ketimbang agen yang mengemudikannya. Modernitas dalam bentuk juggernaut sangatlah dinamis, dia adalah dunia yang terus berputar dengan besarnya peningkatan percepatan, cakupan, dan besarnya perubahan dari sistem-sistem yang mendahuluinya. Giddens menambahkan bahwa juggernaut tidak mengikuti alur tunggal. Terlebih lagi dia bukan hanya satu melainkan tersusun dari beberapa bagian yang saling berkonflik dan kontradiktif. Jadi, giddens mengatakan kepada kita bahwa ia tidak menawarkan satu teori besar yang telah usang atau paling tidak bukan satu narasi besar yang sederhana dan satu arah. Gagasan tentang juggernaut sangat cocok dengan teori strukturasi khususnya dengan titik tekan yang diarahkan pada teori ruang dan waktu.
Giddens mendefinisikan modernitas berdasarkan empat institusi dasar. Pertama adalah kapitalisme, yang biasanya dicirikan oleh produksi komoditas kepemilikan modal pribadi, buruh upahan yang tidak memilki hak milik dan sistem kelas yang berasal dari ciri-ciri ini. Yang kedua adalah industrialisme, yang terdiri dari penggunaan sumber kekuasaan tak bernyawa dan mesin untuk memproduksi barang. Idustrialisme tidak tebatas pada tempat kerja, dan ia mempengaruhi setting-setting lain, seperti transportasi, komunikasi, dan kehidupan rumah tangga. Yang ketiga adalah kapasitas pengawasan yang merujuk pada supervisi aktivitas penduduk diranah politik. Yang keempat adalah dimensi institusional modernitas yaitu kekuatan militer atau kontrol atas sarana kekerasan termasuk industrialisasi perang.
Keempat institusi dasar diatas menurut Giddens saling mempengaruhi dan saling memperkuat. Empat institusi ini pada gilirannya memunculkan empat masalah/ancaman yang ditimbulkan. Sebenarnya Giddens tidak secara spesifik menjelaskan mana dari empat “institusi” yang paling menonjol atau paling berperan besar. Kapitalisme memberikan andil terbesar dalam kekeruhan dunia modern saat ini. Kapitalisme mendorong manusia untuk terus berkompetisi, sementara industrialisme merangsang manusia untuk berinovasi. Kompetisi mendorong untuk inovasi teknologi mengalami percepatan perkembangan akibat dukungan modal dari korporat-korporat raksasa. Para kapitalis tidak henti-hentinya menemukan produk-produk baru, demikian pula para teknologi. Dalam hal ini bata-batas teritorial negara (nation-state) tidak dihiraukan, demikian pula batas-batas kultur. Bahkan manusia sebagai individu juga tidak diperhitungkan. Yang penting adalah maju dan baru.
Giddens langsung menunjuk tiga akibat yang sekaligus mencirikan dunia modern: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Globalisasi menghubungkan manusia di seluruh dunia, bukan hanya pada lingkup ekonomi, tetapi juga dalam segala hal. Komunikasi dan transportasi telah menghubungkan manusia di mana pun ia berada. Telepon (dan kemudian Internet) membuat orang “bertemu” tanpa susah payah bertatap muka. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada bahkan “diciptakan”, tetapi tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan “status baru”. Jika orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskan, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain. Yang terakhir ini terkait erat dengan social reflexivity. Manusia modern memang dapat mengambil keputusan sendiri. Ia menghadapi banyak informasi, tetapi ia bebas menyeleksi informasi mana yang ia butuhkan untuk pengambilan keputusan. Arus informasi memang membuatnya bingung, namun harus mengambil keputusan. Individu sering dapat menolak sebuah informasi semata-mata ia tidak suka atau karena tidak cocok.
Modernitas menurut Giddens erat juga kaitannya dengan ruang dan waktu. Dengan datangnya modernitas, ruang makin lama makin dilepaskan dari tempat. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak secara fisik makin lama makin besar peluangnya. Menurut Giddens, tempat semakin menjadi “phantasmagoric”,[5] artinya “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat peristiwa itu.
D.    The Third Way; Solusi Giddens
Salah satu teoretisasinya yang menggemparkan dunia intelektual maupun kalangan politisi adalah bukunya The Third Way, yang terbit tahun 1998. Buku ini terkenal dengan ungkapan Giddens yang mengatakan bahwa sosialisme itu sudah mati. Giddens lalu dituduh sebagai pengikut golongan “kanan.” Akan tetapi dalam buku itu juga Giddens mengecewakan kelompok “kanan” karena ia mengatakan bahwa neoliberal atau New Right tak mungkin melanjutkan programnya. Maka, oleh sejumlah orang buku The Third Way sering ditafsirkan sebagai jalan keluar dari konflik antara sosialisme (yang menonjolkan negara) dan kapitalisme (yang mengagungkan peran pasar). The Third Way memang berusaha untuk keluar dari kebuntuan pemikiran “kiri” maupun “kanan”.[6]
Akan tetapi ada satu hal yang baru dalam buku ini yaitu Giddens secara lebih rinci dan eksplisit menguraikan tentang peran negara. Ia masih percaya bahwa negara atas dasar demokrasi merupakan pilihan terbaik yang ada sekarang, juga percaya bahwa negara harus memainkan peranan dalam masyarakat. Akan tetapi berbeda dari konsep-konsep klasik tentang negara, Giddens menempatkan negara sebagai “rekan” (partner) dari masyarakat. Negara dan masyarakat tidak beroposisi, masing-masing memainkan perannya yang saling menunjang dan saling mengisi.
Proyek ini jelas tidak memuaskan kelompok Marxis. Bagi Giddens, kelompok Marxis sekarang sudah ketinggalan zaman. Program mereka hanya akan berhasil di zaman yang stabil, artinya di zaman yang belum dilanda oleh globalisasi dan detradisionalisasi. Jika seratus tahun yang lalu Marx, Lenin dan Mao, masih mengangan-angankan mampu mengontrol sejarah masa depan, hal itu sudah tidak ada lagi. Begitu pula halnya dengan gerakan radikal oleh kaum fundamentalis (agama, etnis, gender, nasionalis) yang ingin melindungi tradisi dengan cara-cara tradisional. Bagi Giddens, fundamentalisme tidak mempunyai masa depan kerena mereka menoleh ke masa lampau, sementara dunia sekarang adalah runaway world atau juggernaut yang melesat tanpa kendali melindas tradisi. Karena sifatnya yang isolasionis, fundamentalisme niscaya melahirkan pertentangan dan kekerasan.
Giddens menyatakan bahwa pemikirannya mengenai “jalan ketiga” memiliki enam dimensi:[7] (1) Memperbaiki kembali solidaritas yang retak; (2) mengakui sentralitas dari kehidupan politik; (3) Menerima bahwa kepercayaan yang aktif akan menghasilkan sesuatu yang baik dari dunia politik; (4) mendorong demokrasi yang dialogis, dengan adanya kesempatan dan hak yang sama dari pihak kaya maupun miskin; (5) memikirkan kembali konsep negara-kesejahteraan (welfare-state); serta (6) melawan kekerasan.





BAB III
PENUTUP

Apa yang diperbuat oleh Giddens bukanlah ambisi kosong. Buku-bukunya menjadi referensi penting dalam banyak pembahasan dalam ilmu sosial. Teori srukturasi telah dipakai dalam banyak disertasi doktor, dan tentang teori strukturasi itu sendiri telah banyak ditulis disertasi di seluruh dunia. Kecuali lewat buku-buku dan kuliah-kuliah serta ceramah, pemikiran Giddens telah menerobos masuk para politisi. Ia adalah penasihat Tony Blair, mantan PM Inggris. Giddens juga sibuk dengan undangan untuk memberi nasihat kepada banyak pemimpin dunia, termasuk mantan Presiden AS Bill Clinton.
Yang pasti kita sekarang sedang menghadapi modernisasi dan globalisasi, apakah kita akan mampu bertahan (survival) atau tergilas oleh perkembangan zaman. Atau mungkin ketika menghadapi berbagai resiko dari modernisasi, masyarakat akan terbelah menjadi beberapa kelompok, misalnya; Pertama, penerimaan pragmatis (konsentrasi bertahan hidup), kedua, optimisme abadi, (solusi sosial dan teknologi dapat ditemukan untuk mengatasi masalah global), ketiga, pesimisme sinis, ((kegelisahan yang diprovokasi bahaya dan konsekuensi tinggi), keempat, keterlibatan radikal (persoalan ditanggapi dengan mobilisasi lewat gerakan sosial. Pada konteks demikian, peran agama sangat fungsional dan fundamental untuk tetap dijadikan pegangan agar tidak kehilangan kendali dan negara serta individu punya sense of belonging untuk menjaga ketenangan dan ketenteraman menjadi sesuatu yang niscaya. Meminjam bahasa Azyumardi Azra, kemajuan ilmu pengetahuan dan informasi di era globalisasi harus dikawal dengan iman dan takwa.










DAFTAR PUSTAKA


Giddens,A. 1984. The Constitution of Society-Teori Struktural untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati.
Giddens, A. 1990. The Consequences of Modernity.
Giddens,  A. 1994. Beyond Left and Righ .
Giddens, A. 1998. The Third Way. The Renewal of Social Democracy. Cambridge: Polity (publisher). 
Subuki, Makyun. 2006. Komunikasi dalam Interaksionisme Simbolis, Strukturasi, dan Konvergensi.
Ritzer, G. 2010. Teori Sosiologi. Jogja: Kreasi Wacana.
Poloma, Margaret. M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo.

















[1] Anthony Giddens. 1984. The Constitution of Society-Teori Struktural untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati.
[2] Makyun Subuki. 2006. Komunikasi dalam Interaksionisme Simbolis, Strukturasi, dan Konvergensi.
[3] George Ritzer. 2010. Teori Sosiologi. Jogja: Kreasi Wacana
[4] Anthony Giddens. The Consequences of Modernity (1990:139)
[5] Margaret M. Poloma. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
[6] Anthony Giddens. 1998. The Third Way. The Renewal of Social Democracy. Cambridge: Polity (publisher). 
[7] Anthony Giddens. Beyond Left and Righ . 1994