Sabtu, 04 Februari 2012

Meneladani Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW (untuk sebuah Negara bernama Indonesia)

(untuk sebuah Negara bernama Indonesia)
*Oleh Jamal ArieVansyah
Sunday, 5 February, 2012 7:30 PM.

                                                 

Rasulullah SAW sebagai suri tauladan terbaik
Rasulullah Muhammad Shalallahu alaihi wasalam adalah seorang agamawan, negarawan dan pemimpin yang bijaksana. Jika kita membaca sirah nabawiyah maka akan dapat kita jumpai beribu-ribu teladan yang ditampilkan oleh beliau saat memimpin bangsa jahiliyyah menjadi masyarakat madani yang islamiyyah. Bukan saja karena Allah sudah menetapkan beliau sebagai seorang uswah hasanah sebagaimana tertuang dalam Surat Al-Ahzab ayat 21, tapi memang karena prilaku dan akhlak Nabi SAW sangat indah dan terpuji.
Seperti diketahui, Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam sangat terkenal dengan budaya pengelompokan kabilah, klan, suku, dengan tingkat fanatisme yang sangat kental. Masing-masing mereka tidak hanya suka membanggakan kelompok sendiri, tapi juga merendahkan kelompok lain. Sedemikian fanatiknya masing-masing mereka terhadap kelompok sendiri, seolah-olah mereka punya ‘akidah’: Kelompok sendiri selalu benar dan harus dibela mati-matian sampai mati. Inilah yang disebut ‘Ashabiyah. Terjadinya banyak peperangan dan pertumpahan darah di antara mereka, umumnya diakibatkan oleh ‘ashabiyah atau fanatisme kelompok ini.
Masalah sederhana seringkali bisa menjadi api penyulut peperangan besar apabila  menyangkut kehormatan atau kepentingan kelompok. Pertengkaran pribadi antar kelompok dapat dengan cepat membakar emosi seluruh anggota masing-masing kelompok oleh apa yang disebut dengan Da’wa al jahiliyyah, masing-masing pihak yang bertengkar meminta bantuan kelompoknya. Dan pertengkaran pribadi pun menjadi peperangan antar kelompok. Itulah salah satu ‘kegelapan’ Jahiliyyah yang diperjuangkan Rasulullah SAW untuk dikuakkan oleh cahaya Islam.
Nabi Muhammad SAW, Nabi Kasih sayang yang membawa agama kasih sayang,  memperkenalkan kehidupan kemanusiaan yang mulia. Nabi mengingatkan bahwa seluruh manusia berasal dari bapak yang satu yaitu Adam. Tak ada seorang atau sekelompok pun manusia yang lebih mulia dari yang lain. Orang Arab tidak lebih mulia dari orang non Arab. Kulit putih tidak lebih mulia dari kulit hitam. Yang termulia di antara mereka di hadapan Allah adalah yang paling takwa kepadanya.
Mereka yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah berarti dia telah masuk Islam dan disebut muslim. Dan muslim satu dengan yang lain– menurut Nabi Muhammad SAW.– bersaudara; tidak boleh saling menghina, tidak boleh saling menjengkelkan, tidak boleh saling melukai. Masing-masing harus menjaga nyawa, kehormatan, dan harta saudaranya. Muslim satu dengan yang lain ibarat satu tubuh atau satu bangunan. Demikianlah; panutan agung semua orang yang mengaku muslim, Nabi Muhammad SAW, mempersaudarakan umat Islam di Madinah antara mereka yang berasal dari suku-suku asli Madinah (Kelompok Anshor dari suku Khazraj dan Aus) dan para pendatang dari Mekkah (Kelompok Muhajirin dari berbagai suku) dan mengadakan perjanjian damai dengan penduduk Madinah yang non muslim. Dan dengan demikian kedegilan ‘ashabiyah Jahiliyah yang selama ini berakar kuat pun sirna, digantikan oleh kearifan akal budi kemanusiaan yang mulia.
Memang adakalanya penyakit ‘ashabiyah’ itu nyaris muncul lagi, namun kebijaksanaan Rasulullah SAW. segera menangkalnya sejak gejalanya yang paling dini; seperti peristiwa yang terjadi setelah perang Bani Musthaliq pada tahun kelima hijrah. Waktu itu, seorang buruh yang bekerja pada shahabat Umar Ibn Khatthab (dari Muhajirin) berkelahi dan memukul seorang sobat suku Khazraj. Orang ini pun berteriak memanggil-manggil dan meminta bantuan kelompok Khazraj; sementara si buruh pun berteriak-teriak meminta bantuan kaum muhajirin. Hampir saja terjadi tawuran antara kedua kelompok itu. Untung, Rasulullah segera keluar, sabdanya : “Maa baalu da’waa ‘l-Jahiliyah?” (“Lho mengapa ada seruan model Jahiliyah?”). Ketika diberitahu duduk perkaranya, Rasulullah s.a.w. pun bersabda: “Tinggalkan perilaku Jahiliyah itu! Itu busuk baunya!” Rasulullah pun meleraikan mereka dengan adil. Dan malapetaka pun terhindarkan.
Meneladani gaya kepemimpinan Rasulullah SAW
Muhammad sang Nabi sekaligus Rasul terakhir merupakan manusia pilihan Allah yang membawa misi suci dari langit, yaitu agama Islam yang rahmatan lil alamin, menjunjung tinggi nilai humanisme, egalitarianisme, dan nilai-nilai universal Islam lainnya. Nabi Muhammad telah membawa misi suci Allah ke dunia. Ia mampu membangun peradaban agung Islam yang penuh kegemilangan. Ketika pindah ke Madinah, dengan keteladaan dan kepemimpinannya, Muhammad mampu membangun Negara Madinah yang mencerminkan baldatun toyyibatun wa rubbun ghafur. Negara yang penuh kemakmuran, kesejahteraan dan rakyatnya tentram hidup di dalamnya.
Rekam jejak Nabi Muhammad baik dari sikap atau sifatnya akan menjadi pencerah hati sejati. Maulid Nabi adalah upaya menggali kembali keutuhan ajarannya yang langsung diturunkan Allah SWT melalui malaikat jibril dan meneladani tradisi (as-sunnah) yang dilakukan Nabi. Ajaran yang dibawa Nabi tidak hanya berkutat di ranah keagamaan an sich, namun sekaligus di ranah sosial, politik maupun budaya. Keagungan karakter dan sepak terjang Muhammad dalam mambangun peradaban gemilang Islam telah menjadikan pemimpin yang gemilang nan sempurna. Muhammad dengan perfect membangun peradaban Islam yang adil. Sehingga, tidak salah kalau Michael Hart (2006) menempatkan Nabi Muhammad di urutan pertama sebagai orang yang paling berpengaruh bagi peradaban dunia.
Kita bisa meneladani sikap hidup Nabi Muhammad yaitu dengan mengamalkan sifat-sifat Nabi Muhammad yang jujur (shidiq), terpercaya (amanah), menyampaikan kebenaran (tabligh) dan cerdas. Sifat-sifat tersebut merupakan ciri khas pribadi Nabi Muhammad SAW dalam memimpin bangsa dan rakyatnya. Keempat sifat ini sejatinya harus tertanam dalam diri seorang pemimpin.
Kepemimpinan ala Rasulullah SAW untuk Indonesia
Fanatisme, terutama dalam pengertiannya yang ektrem, memang sering menghilangkan penalaran sehat; sebab memang emosi yang lebih berkuasa. Puncaknya – apabila emosi sudah sangat menguasai — orang yang bersangkutan pun tidak mampu lagi melihat dan mendengar, shummum bukmun ‘umyun. Itulah barangkali sebabnya, orang yang terlalu fanatik terhadap kelompoknya, tidak bisa bersikap obyektif dan cenderung tidak bisa diajak bicara oleh kelompok yang lain.
Di negeri kita yang bukan Arab, khususnya di zaman pasca orde baru ini, penyakit semacam ‘ashabiyah Jahiliyah itu rupanya juga mulai mewabah. Bukan kelompok suku dan agama saja yang difanatiki berlebihan, bahkan kelompok politik pun sudah cenderung difanatiki melebihi agama. Lebih celaka lagi – agaknya karena pemahaman soal politik dan demokrasi yang masih cingkrang di satu pihak, dan pemahaman atau penghayatan agama yang dangkal di lain pihak – fanatisme kelompok politik ini membawa-bawa agama. Maka campur-aduklah antara kepentingan agama, kepentingan politik dan nafsu. Tidak jelas lagi apakah kepentingan politik mendukung agama; atau agama mendukung kepentingan politik; ataukah justru politik dan agama mendukung nafsu. Bahkan banyak mubalig atau da’i – yang seharusnya meneruskan misi kasih sayang Rasulullah SAW– entah sadar atau tidak, justru lebih mirip jurkam atau malah provokator yang tidak merasa risih mengeluarkan kata-kata kotor yang sangat dibenci oleh Nabi mereka sendiri.
Itu semua ditambah kita ini sejak zaman kerajaan; zaman penjajahan; zaman orla; hingga zaman orba; tidak dididik untuk dapat berbeda, sebagai pelajaran awal berdemokrasi. Malah didikan yang kita terima terus-menerus adalah keharusan seragam. Akibatnya, ketika ‘euforia demokrasi’ marak mengiringi tumbangnya rezim Soeharto yang otoriter, orang hanya berpikir mendirikan partai tanpa sempat memikirkan kaitannya partai dengan kehidupan berdemokrasi yang menuntut sikap menghargai perbedaan. ‘Ashabiyah Jahiliyah pun menemukan bentuknya yang lebih busuk bahkan di kalangan kaum beragama.
Kalau ini tidak cepat disadari khususnya oleh para pemimpin, umumnya oleh para pendukung kelompok atau partai, minimal mereka yang masih mengakui Allah sebagai Tuhan mereka dan Sayyidina Muhammad s.a.w. sebagai nabi dan pemimpin agung mereka, saya khawatir memang azablah yang sedang menimpa kita. Dan azab itu hanya Allah yang kuasa menimpakan dan menghilangkannya. “Qul Hual Qaadiru ‘alaa ‘an yab’atsa ‘alaikum ‘azaaban …” (Q.6: 65) “Katakanlah (Muhammad,) ‘Dialah yang berkuasa mengirimkan azab dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian, atau Dia mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok (fanatik yang saling bertentangan) dan mencicipkan kepada sebahagian kalian keganasan sebahagian yang lain …’” Mudah-mudahan Allah memberi hidayah kepada kita semua untuk kembali ke jalanNya yang lurus, mengikuti jejak RasulNya yang berbudi dan mulia. Amin.

*Mahasiswa Pend. Ilmu Sosial Semester 8 UIN Jakarta