Senin, 31 Oktober 2011

Anthony Giddens dan pemikiran gemilangnya

  ANTHONY GIDDENS
(Teori Strukturasi, Modernitas, dan Jalan ketiga)
oleh : Jamal ArieVansyah


                                  
BAB I
PENDAHULUAN

Dunia telah menapaki sebuah era baru: era globalisasi. Pasca-keruntuhan Uni Sovyet di awal dekade 1990-an, komunisme seakan menjadi sebuah dagangan yang tidak lagi laku. Era dianggap telah berubah, seakan-akan tidak ada lagi alternatif baru (Thatcher, 1992), dan ini disangka sebagai akhir dari sejarah dengan kemenangan demokrasi-liberal (Fukuyama, 1989). Dunia dikuasai oleh sebuah kekuatan unipolar yang hegemonik, dengan ancaman bahwa jika tidak taat pada kekuatan tersebut, mereka akan kehilangan harapan untuk hidup.
Benarkah demikian, bahwa tidak ada lagi jalan alternatif di dunia ini selain jalan neoliberalisme? Anthony Giddens menawarkan hal sebaliknya. Bagi Giddens, masih ada sepercik harapan dari jalan yang ia sebut sebagai “jalan ketiga”. Giddens, yang mendasarkan pandangannya pada teori strukturasi, berpandangan bahwa liberalisme tidak selamanya menawarkan kebaikan; masih ada celah yang harus dibenahi dalam struktur sosial.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep dasar pemikiran Anthony Giddens
Anthony Giddens adalah teoritisi sosial inggris masa kini yang sangat penting dan salah seorang dari sedikit teoritisi yang sangat berpengaruh di dunia. Giddens lahir di Edmonton, London Utara, pada 18 Januari 1938, dari sebuah keluarga karyawan bus umum, yang di rumahnya sama sekali tidak memiliki buku.  Anthony menjadi satu-satunya anak dari keluarga itu yang bersekolah tinggi. ia belajar di universitas Hull, di The London School of Economic, dan di Universitas London. Tahun 1961 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Leicester. Karya awalnya bersifat empiris dan memusatkan perhatian pada masalah bunuh diri. Tahun 1969, ia beralih jabatan menjadi dosen sosiologi di Universitas Cambridge dan sebagai anggota King’s college. Dalam karya-karyanya itu selangkah demi selangkah ia mulai membangun perspektif teoritisnya sendiri, yang terkenal dengan teori strukturasi.
Menurut Dr. Ignatius Wibowo, Giddens memulai petualangan intelektual dengan menelaah pemikiran tokoh-tokoh besar dalam sosiologi, Karl Marx, Emile Durkheim, serta Max Weber. Hasilnya ia terbitkan sebagai buku, Capitalism and Modern Social Theory. An analysis of the Writings of Marx, Durkheim and Max Weber (1971). Setelah itu ia mengarahkan refleksinya ke berbagai pemikiran yang sudah menjadi mazhab dewasa ini, seperti Fungsionalisme Talcot Parson, Interaksionisme Simbolis Erving Goffman, Marxisme, Strukturalisme Ferdinand de Saussure dan Levi Strauss, Post-Strukturalisme Michel Foucault, pemikiran Jacques Derrida, dsb. Dan pada akhirnya Tahun 1984 karya Giddens mencapai puncaknya dengan terbitnya buku the constitution of society outline of the theory of society, yang merupakan pernyataan tunggal terpenting tentang perspektif teori Giddens.
Petualangan intelektualnya kemudian menemukan momentum dengan pemahaman Giddens mengenai struktur sosial. Giddens menyebut bahwa, “social structures are both constituted by human agency, and yet at the same time are the very medium of this constitution”.[1] Pernyataan Giddens ini mengisyaratkan bahwa struktur sosial dilatarbelakangi oleh human agency, atau hubungan antara peraturan dan perilaku. Aturan (rules) mempengaruhi perilaku dan tindakan yang dibuat oleh manusia. Aturan ini, ketika dilembagakan secara sosial, membentuk struktur yang terus direproduksi menjadi sebuah sistem. Proses reproduksi struktur hingga berinteraksi menjadi sistem tersebutlah yang dinamakan oleh Giddens sebagai proses strukturasi.
Giddens mengatakan bahwa Obyek utama dari ilmu sosial bukanlah peran sosial (social role) seperti dalam Fungsionalisme Talcot Parsons, bukan kode tersembunyi (hidden code) seperti dalam Strukturalisme Claude Levi Strauss, bukan juga dari keunikan situasional seperti dalam Interaksionisme Simbolis Erving Goffman. Bukan keseluruhan, bukan bagian, bukan struktur bukan pula pelaku perorangan, melainkan titik temu antara keduanya. Oleh karena itulah teori strukturasi merupakan “jalan tengah” untuk mengakomodasi dominasi struktur atau kekuatan sosial dengan pelaku tindakan (agen).
B.     Teori Strukturasi
Teori strukturasi dipelopori oleh Anthony Giddens, seorang sosiolog Inggris yang mengembangkan apa yang disebutnya sebagai sosiologi sehari-hari. Sosiologi didasarkan pada pemahamanya atas strukturasi dalam sistem sosial. Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualisme (pertentangan) dan mencoba mencari likage/pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionisme-fenomenologis. Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan neturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperialisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakhiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Giddens menyelesaikan perdebatan antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan ‘eksternal’ dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia. Menurut Giddens,[2] struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat ‘internal’. Struktur tidak bisa disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifat-sifat struktur sistem sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar kendali aktor-aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial para aktor yang dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitas-ativitasnya yang bisa merealisasikan sistem-sistem itu. Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan kita, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki “unintended consequences” (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya.
C.    Modernitas dan Konsekuensi-konsekuensinya
Hal menarik lain yang patut kita analisis dari pandangan Anthony Giddens adalah pandangannya mengenai modernisasi. Ia beranggapan, modernisasi dapat dimaknai dalam dua perspektif[3]: sebagai mesin perusak dari nilai dan tradisi lokal, namun juga bisa menjadi sebuah peluang untuk menuju tatanan masyarakat yang madani. Giddens melukiskan kontradiksi antara globalisasi dalam dua perspektif tersebut pada teorinya mengenai tipologi masyarakat tradisional dan post-tradisional.
Dalam masyarakat yang bertipe tradisional, aktivitas individu tidak ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan yang berlebihan, karena pilihan yang tersedia telah mengacu pada pradeterminasi, berupa kebiasaan, tradisi, atau nilai. Di sisi lain, masyarakat post-tradisional lebih cenderung tidak memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang “pakem” dilakukan di masa sebelumnya. Justru, masyarakat post-tradisional lebih memperhatikan pertimbangan logis-rasional untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi ke depan. Masyarakat post-tradisional inilah yang disebut sebagai masyarakat modern. Dalam satu perspektif, masyarakat modern lebih berpikiran rasional; ia dapat memperhitungkan apa yang akan terjadi ke depan dengan pemikiran dan pertimbangan-pertimbangan pribadi, sehingga struktur yang berlaku bisa saja berubah setiap saat. Namun, dalam perspektif lain, modernitas ini justru berkorelasi negatif dengan sustainability dan lingkungan, karena pikiran rasional cenderung berorientasi pada modal dan keuntungan, dengan melepaskan alam sebagai basis kerja. Inilah yang dikritik oleh Giddens.
Giddens juga melihat modernitas sekarang sebagai “juggernaut” (panser raksasa) yang lepas kontrol.
“kehidupan kolektif modern ibarat panser raksasa yang tengah melaju hingga taraf tertentu bisa dikemudikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur-lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga sewaktu-waktu dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya. Perjalanannya bukannya sama sekali tak menyenangkan atau tidak bermanfaat; adakalanya memang menyenangkan dan berubah sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi, sepanjang institusi modernitas ini terus berfungsi, kita takkan pernah mampu mengendalikan sepenuhnya baik arah maupun kecepatan perjalanannya. Kita pun takkan pernah merasa aman sama sekali karena kawasan yang dijelajahinya penuh dengan bahaya.[4]
Istilah “juggernaut” (panser raksasa) digunakan Giddens untuk menggambarkan kehidupan modern sebagai sebuah “dunia yang tak terkendali” (runaway world). Citra panser raksasa dimaksudkan Giddens untuk menerangkan bahwa mekanisme modern jauh lebih besar kekuasaannya ketimbang agen yang mengemudikannya. Modernitas dalam bentuk juggernaut sangatlah dinamis, dia adalah dunia yang terus berputar dengan besarnya peningkatan percepatan, cakupan, dan besarnya perubahan dari sistem-sistem yang mendahuluinya. Giddens menambahkan bahwa juggernaut tidak mengikuti alur tunggal. Terlebih lagi dia bukan hanya satu melainkan tersusun dari beberapa bagian yang saling berkonflik dan kontradiktif. Jadi, giddens mengatakan kepada kita bahwa ia tidak menawarkan satu teori besar yang telah usang atau paling tidak bukan satu narasi besar yang sederhana dan satu arah. Gagasan tentang juggernaut sangat cocok dengan teori strukturasi khususnya dengan titik tekan yang diarahkan pada teori ruang dan waktu.
Giddens mendefinisikan modernitas berdasarkan empat institusi dasar. Pertama adalah kapitalisme, yang biasanya dicirikan oleh produksi komoditas kepemilikan modal pribadi, buruh upahan yang tidak memilki hak milik dan sistem kelas yang berasal dari ciri-ciri ini. Yang kedua adalah industrialisme, yang terdiri dari penggunaan sumber kekuasaan tak bernyawa dan mesin untuk memproduksi barang. Idustrialisme tidak tebatas pada tempat kerja, dan ia mempengaruhi setting-setting lain, seperti transportasi, komunikasi, dan kehidupan rumah tangga. Yang ketiga adalah kapasitas pengawasan yang merujuk pada supervisi aktivitas penduduk diranah politik. Yang keempat adalah dimensi institusional modernitas yaitu kekuatan militer atau kontrol atas sarana kekerasan termasuk industrialisasi perang.
Keempat institusi dasar diatas menurut Giddens saling mempengaruhi dan saling memperkuat. Empat institusi ini pada gilirannya memunculkan empat masalah/ancaman yang ditimbulkan. Sebenarnya Giddens tidak secara spesifik menjelaskan mana dari empat “institusi” yang paling menonjol atau paling berperan besar. Kapitalisme memberikan andil terbesar dalam kekeruhan dunia modern saat ini. Kapitalisme mendorong manusia untuk terus berkompetisi, sementara industrialisme merangsang manusia untuk berinovasi. Kompetisi mendorong untuk inovasi teknologi mengalami percepatan perkembangan akibat dukungan modal dari korporat-korporat raksasa. Para kapitalis tidak henti-hentinya menemukan produk-produk baru, demikian pula para teknologi. Dalam hal ini bata-batas teritorial negara (nation-state) tidak dihiraukan, demikian pula batas-batas kultur. Bahkan manusia sebagai individu juga tidak diperhitungkan. Yang penting adalah maju dan baru.
Giddens langsung menunjuk tiga akibat yang sekaligus mencirikan dunia modern: globalisasi, detradisionalisasi, dan social reflexivity. Globalisasi menghubungkan manusia di seluruh dunia, bukan hanya pada lingkup ekonomi, tetapi juga dalam segala hal. Komunikasi dan transportasi telah menghubungkan manusia di mana pun ia berada. Telepon (dan kemudian Internet) membuat orang “bertemu” tanpa susah payah bertatap muka. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada bahkan “diciptakan”, tetapi tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan “status baru”. Jika orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskan, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari sumber lain. Yang terakhir ini terkait erat dengan social reflexivity. Manusia modern memang dapat mengambil keputusan sendiri. Ia menghadapi banyak informasi, tetapi ia bebas menyeleksi informasi mana yang ia butuhkan untuk pengambilan keputusan. Arus informasi memang membuatnya bingung, namun harus mengambil keputusan. Individu sering dapat menolak sebuah informasi semata-mata ia tidak suka atau karena tidak cocok.
Modernitas menurut Giddens erat juga kaitannya dengan ruang dan waktu. Dengan datangnya modernitas, ruang makin lama makin dilepaskan dari tempat. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak secara fisik makin lama makin besar peluangnya. Menurut Giddens, tempat semakin menjadi “phantasmagoric”,[5] artinya “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat peristiwa itu.
D.    The Third Way; Solusi Giddens
Salah satu teoretisasinya yang menggemparkan dunia intelektual maupun kalangan politisi adalah bukunya The Third Way, yang terbit tahun 1998. Buku ini terkenal dengan ungkapan Giddens yang mengatakan bahwa sosialisme itu sudah mati. Giddens lalu dituduh sebagai pengikut golongan “kanan.” Akan tetapi dalam buku itu juga Giddens mengecewakan kelompok “kanan” karena ia mengatakan bahwa neoliberal atau New Right tak mungkin melanjutkan programnya. Maka, oleh sejumlah orang buku The Third Way sering ditafsirkan sebagai jalan keluar dari konflik antara sosialisme (yang menonjolkan negara) dan kapitalisme (yang mengagungkan peran pasar). The Third Way memang berusaha untuk keluar dari kebuntuan pemikiran “kiri” maupun “kanan”.[6]
Akan tetapi ada satu hal yang baru dalam buku ini yaitu Giddens secara lebih rinci dan eksplisit menguraikan tentang peran negara. Ia masih percaya bahwa negara atas dasar demokrasi merupakan pilihan terbaik yang ada sekarang, juga percaya bahwa negara harus memainkan peranan dalam masyarakat. Akan tetapi berbeda dari konsep-konsep klasik tentang negara, Giddens menempatkan negara sebagai “rekan” (partner) dari masyarakat. Negara dan masyarakat tidak beroposisi, masing-masing memainkan perannya yang saling menunjang dan saling mengisi.
Proyek ini jelas tidak memuaskan kelompok Marxis. Bagi Giddens, kelompok Marxis sekarang sudah ketinggalan zaman. Program mereka hanya akan berhasil di zaman yang stabil, artinya di zaman yang belum dilanda oleh globalisasi dan detradisionalisasi. Jika seratus tahun yang lalu Marx, Lenin dan Mao, masih mengangan-angankan mampu mengontrol sejarah masa depan, hal itu sudah tidak ada lagi. Begitu pula halnya dengan gerakan radikal oleh kaum fundamentalis (agama, etnis, gender, nasionalis) yang ingin melindungi tradisi dengan cara-cara tradisional. Bagi Giddens, fundamentalisme tidak mempunyai masa depan kerena mereka menoleh ke masa lampau, sementara dunia sekarang adalah runaway world atau juggernaut yang melesat tanpa kendali melindas tradisi. Karena sifatnya yang isolasionis, fundamentalisme niscaya melahirkan pertentangan dan kekerasan.
Giddens menyatakan bahwa pemikirannya mengenai “jalan ketiga” memiliki enam dimensi:[7] (1) Memperbaiki kembali solidaritas yang retak; (2) mengakui sentralitas dari kehidupan politik; (3) Menerima bahwa kepercayaan yang aktif akan menghasilkan sesuatu yang baik dari dunia politik; (4) mendorong demokrasi yang dialogis, dengan adanya kesempatan dan hak yang sama dari pihak kaya maupun miskin; (5) memikirkan kembali konsep negara-kesejahteraan (welfare-state); serta (6) melawan kekerasan.





BAB III
PENUTUP

Apa yang diperbuat oleh Giddens bukanlah ambisi kosong. Buku-bukunya menjadi referensi penting dalam banyak pembahasan dalam ilmu sosial. Teori srukturasi telah dipakai dalam banyak disertasi doktor, dan tentang teori strukturasi itu sendiri telah banyak ditulis disertasi di seluruh dunia. Kecuali lewat buku-buku dan kuliah-kuliah serta ceramah, pemikiran Giddens telah menerobos masuk para politisi. Ia adalah penasihat Tony Blair, mantan PM Inggris. Giddens juga sibuk dengan undangan untuk memberi nasihat kepada banyak pemimpin dunia, termasuk mantan Presiden AS Bill Clinton.
Yang pasti kita sekarang sedang menghadapi modernisasi dan globalisasi, apakah kita akan mampu bertahan (survival) atau tergilas oleh perkembangan zaman. Atau mungkin ketika menghadapi berbagai resiko dari modernisasi, masyarakat akan terbelah menjadi beberapa kelompok, misalnya; Pertama, penerimaan pragmatis (konsentrasi bertahan hidup), kedua, optimisme abadi, (solusi sosial dan teknologi dapat ditemukan untuk mengatasi masalah global), ketiga, pesimisme sinis, ((kegelisahan yang diprovokasi bahaya dan konsekuensi tinggi), keempat, keterlibatan radikal (persoalan ditanggapi dengan mobilisasi lewat gerakan sosial. Pada konteks demikian, peran agama sangat fungsional dan fundamental untuk tetap dijadikan pegangan agar tidak kehilangan kendali dan negara serta individu punya sense of belonging untuk menjaga ketenangan dan ketenteraman menjadi sesuatu yang niscaya. Meminjam bahasa Azyumardi Azra, kemajuan ilmu pengetahuan dan informasi di era globalisasi harus dikawal dengan iman dan takwa.










DAFTAR PUSTAKA


Giddens,A. 1984. The Constitution of Society-Teori Struktural untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati.
Giddens, A. 1990. The Consequences of Modernity.
Giddens,  A. 1994. Beyond Left and Righ .
Giddens, A. 1998. The Third Way. The Renewal of Social Democracy. Cambridge: Polity (publisher). 
Subuki, Makyun. 2006. Komunikasi dalam Interaksionisme Simbolis, Strukturasi, dan Konvergensi.
Ritzer, G. 2010. Teori Sosiologi. Jogja: Kreasi Wacana.
Poloma, Margaret. M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo.

















[1] Anthony Giddens. 1984. The Constitution of Society-Teori Struktural untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati.
[2] Makyun Subuki. 2006. Komunikasi dalam Interaksionisme Simbolis, Strukturasi, dan Konvergensi.
[3] George Ritzer. 2010. Teori Sosiologi. Jogja: Kreasi Wacana
[4] Anthony Giddens. The Consequences of Modernity (1990:139)
[5] Margaret M. Poloma. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo
[6] Anthony Giddens. 1998. The Third Way. The Renewal of Social Democracy. Cambridge: Polity (publisher). 
[7] Anthony Giddens. Beyond Left and Righ . 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar