Budaya Bangsa di tengah Penetrasi Budaya-budaya Asing
Jamal Arifansyah*
Rasa-rasanya tidak ada negara lain
di dunia ini yang sekompleks dan selengkap Indonesia. Terdiri atas beberapa
suku bangsa (etnis), agama, ras yang kemudian menyatu menjadi satu nama yaitu “Indonesia”,
negara ini pantas bangga, karena tidak ada dominasi antara suku, ras, maupun
agama yang satu dengan yang lainnya. Semuanya sama. Jika kita lihat Amerika
yang sekarang misalnya, Suku Indian malah menjadi minoritas di tanahnya. Hal
yang sama juga dialami oleh Suku Aborigin. Inca, Maya, malah lebih parah.
Indonesia beruntung, terlebih
semenjak jatuhnya kekuasaan penguasa Orba membuka jalan demokrasi sehingga
indonesia terlepas dari masalah diskriminasi-diskriminasi (seperti kasus etnis
tionghoa yang tidak diakui keberadaannya, dll) yang begitu subur tumbuh pada
masa orde baru. Bahkan Belanda dan Jepang yang pernah menjajah Indonesia juga
tidak mampu melenyapkan suku-suku asli Indonesia, sementara Cortez dan Pizarro
berhasil menyingkirkan Inca dan Maya dari tanah mereka sendiri. Sekali lagi,
Indonesia patut berbangga dengan apa yang dimiliki.
Terlepas dari hal-hal di atas,
sebenarnya tantangan bangsa Indonesia saat ini ada pada hal-hal yang sebetulnya
ringan. Beberapa tahun lalu, sebelum demam K-Pop seperti sekarang ini,
masyarakat Indonesia tergila-gila dengan segala sesuatu yang berbau Amerika.
Mulai dari musik sampai mode pakaian. Sementara sekitar dua tahun belakangan
ini, masyarakat Indonesia khususnya kaum muda-mudi mulai tergila-gila dengan budaya
Korea. Hal ini ditandai dengan menjamurnya grup musik boyband dan
girlband yang seakan semakin menyingkirkan kesenian-kesenian khas indonesia
seperti tembang juga musik dangdut yang merupakan asli produk indonesia. Lantas,
Bagaimana nasib kebudayaan Indonesia? Apakah ini pertanda manusia indonesia
saat ini sudah tidak mampu lagi menjaga kearifan lokal (lokal wisdom) akibat
penetrasi budaya-budaya asing yang dibawa oleh arus globalisasi?
Almaghfurlah Gus Dur
pernah menyatakan bahwa “Kaum muda Indonesia harus mengapresiasi karya sastra
Indonesia, hal itu (sastra Indonesia) sedikit lebih dapat dipahami daripada
kebudayaan Indonesia.” Kebudayaan Indonesia itu adalah kebudayaan yang
mengadopsi keuletan suku Jawa dan kesantunan Sunda, Dayak, atau Bali, kemudian
dikombinasikan dengan keberanian dari Madura, lalu ketegasan dari Batak, dan
dicampur lagi dengan semangat dari Bugis, dan juga kekuatan adaptasi yang luar
biasa dari Papua, Itu baru segelintir suku, hanya suku-suku besar, belum
semuanya. Itulah Kebudayaan Indonesia (dalam hal ini penulis lebih tertarik
menggunakan kalimat Kebudayaan Indonesia daripada kalimat Kebudayaan di
Indonesia).
Namun yang menjadi permasalahan
adalah kaum muda-mudi Indonesia merasa bingung harus bersikap seperti apa.
Karena ketika mereka ingin bersikap sebagaimana tuntunan budaya yang tertanam
pada sukunya, akan dianggap ketinggalan jaman, jadul, kuno, dan sebutan-sebutan
lainnya yang cukup merendahkan. Sementara dalam kebudayaan Indonesia, saat ini sudah
sangat jarang tokoh yang bisa dijadikan contoh dalam berperilaku sesuai dengan
budaya asli Indonesia. Jika dulu ada Bung Karno yang berani mempopulerkan peci
hitam khas indonesia lalu Gus Dur dengan pakaian batiknya yang me-Nusantara,
sekarang trend budaya kita bergeser kearah kiblat budaya asing.
Orang-orang lebih suka menggunakan
baju-baju minim dan sexy ala barat, yang demikian itu menurut mereka agar
dianggap modern dan sesuai dengan perkembangan zaman. Lebih parahnya lagi, Wakil-wakil
rakyat yang diharapkan bisa memberikan contoh yang baik terhadap rakyatnya
malah bertingkah laku yang bukan merupakan produk budaya asli Indonesia,
seperti: perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merupakan warisan
dari budaya para penjajah yang pernah menjajah indonesia. Maka ketika para stakeholders
pemerintahan meminta kaum muda agar tidak melupakan budaya bangsa sendiri,
tampaknya mereka harus berkaca terlebih dahulu kemudian memberi contoh
bagaimana berperilaku “Indonesia” agar kaum muda mempunyai figur yang bisa
dicontoh.
Alex Inkeles mengungkapkan tentang 9
ciri manusia modern, yaitu :
“Menerima hal-hal baru, Menyatakan
pendapat baik tentang lingkungannya sendiri maupun luar, Menghargai waktu,
Memiliki perencanaan dan pengorganisasian, Percaya diri, Perhitungan,
Menghargai harkat hidup orang lain, Lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan
teknologi, Menjunjung tinggi suatu sikap dimana imbalan sesuai dengan prestasi
yang diberikan.”
Dan tidak satupun dari sembilan ciri manusia modern
tersebut menurutnya harus diperoleh dari kebudayaan asing (entah itu budaya
arab, barat, dsb). Sehingga manusia indonesia harusnya dapat bangga dengan
budaya bangsa, turut serta dalam pemeliharaannya, meskipun harus dikemas dengan
balutan budaya asing yang lebih relevan.
Ketika kaum muda berperilaku sesuai
dengan budaya asalnya (suku aslinya), entah dari suku mana, sebenarnya pada
suatu titik mereka akan bertemu dalam sebuah tempat yang di situ bersemayam
kebudayaan yang bernama Indonesia, karena Indonesia terbentuk dari saripati
kebudayaan-kebudayaan yang telah ada sebelumnya. jika kita ingat puisi yang
pernah dilantunkan oleh Bung Karno berjudul Aku Melihat Indonesia, yang
penggalannya sebagai berikut:
“Jikalau
aku mendengar pangkur palaran, Bukan lagi pangkur palaran yang
kudengarkan, Aku
mendengar Indonesia”
Pangkur palaran merupakan salah satu bentuk penyajian
tembang jawa, yang merupakan salah satu bentuk kesenian khas di daerah jawa.
Namun Bung Karno “mendengarnya” sebagai kesenian Indonesia, Khazanah Kebudayaan
Indonesia yang harus dihargai dan dilestarikan.
Prinsip
seperti Bung Karno itulah yang seharusnya menjadi pola pikir (mindset)
generasi-generasi muda indonesia saat ini. Terutama para
intelektual-intelektual muda yang diharapkan sebagai pejuang ideologi bangsa,
seharusnya mampu memelihara kebudayaan yang sudah diwariskan oleh nenek moyang
kita yang sudah disepakati sebagai tuntunan hidup dari sejak dahulu kala. Dan Para
mahasiswa sebagai intelektual muda sah-sah saja memanfaatkan bantuan teknologi super
canggih yang saat ini sebagian besar merupakan produk asing, namun untuk
menjadi mahasiswa modern bukan berarti malah meninggalkan apalagi sampai acuh
tak acuh dengan budaya negeri sendiri. Karena bila hal itu yang terjadi, jangan
pernah kecewa bila suatu saat atau bahkan sekarang budaya lokal kita sudah diakui
oleh negara lain.
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Jurusan Pend. IPS, Semester 8.