Senin, 21 Mei 2012

Budaya Bangsa di tengah Penetrasi Budaya-budaya Asing


Budaya Bangsa di tengah Penetrasi Budaya-budaya Asing

Jamal Arifansyah*


Rasa-rasanya tidak ada negara lain di dunia ini yang sekompleks dan selengkap Indonesia. Terdiri atas beberapa suku bangsa (etnis), agama, ras yang kemudian menyatu menjadi satu nama yaitu “Indonesia”, negara ini pantas bangga, karena tidak ada dominasi antara suku, ras, maupun agama yang satu dengan yang lainnya. Semuanya sama. Jika kita lihat Amerika yang sekarang misalnya, Suku Indian malah menjadi minoritas di tanahnya. Hal yang sama juga dialami oleh Suku Aborigin. Inca, Maya, malah lebih parah.
Indonesia beruntung, terlebih semenjak jatuhnya kekuasaan penguasa Orba membuka jalan demokrasi sehingga indonesia terlepas dari masalah diskriminasi-diskriminasi (seperti kasus etnis tionghoa yang tidak diakui keberadaannya, dll) yang begitu subur tumbuh pada masa orde baru. Bahkan Belanda dan Jepang yang pernah menjajah Indonesia juga tidak mampu melenyapkan suku-suku asli Indonesia, sementara Cortez dan Pizarro berhasil menyingkirkan Inca dan Maya dari tanah mereka sendiri. Sekali lagi, Indonesia patut berbangga dengan apa yang dimiliki.
Terlepas dari hal-hal di atas, sebenarnya tantangan bangsa Indonesia saat ini ada pada hal-hal yang sebetulnya ringan. Beberapa tahun lalu, sebelum demam K-Pop seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia tergila-gila dengan segala sesuatu yang berbau Amerika. Mulai dari musik sampai mode pakaian. Sementara sekitar dua tahun belakangan ini, masyarakat Indonesia khususnya kaum muda-mudi mulai tergila-gila dengan budaya Korea. Hal ini ditandai dengan menjamurnya grup musik boyband dan girlband yang seakan semakin menyingkirkan kesenian-kesenian khas indonesia seperti tembang juga musik dangdut yang merupakan asli produk indonesia. Lantas, Bagaimana nasib kebudayaan Indonesia? Apakah ini pertanda manusia indonesia saat ini sudah tidak mampu lagi menjaga kearifan lokal (lokal wisdom) akibat penetrasi budaya-budaya asing yang dibawa oleh arus globalisasi?
Almaghfurlah Gus Dur pernah menyatakan bahwa “Kaum muda Indonesia harus mengapresiasi karya sastra Indonesia, hal itu (sastra Indonesia) sedikit lebih dapat dipahami daripada kebudayaan Indonesia.” Kebudayaan Indonesia itu adalah kebudayaan yang mengadopsi keuletan suku Jawa dan kesantunan Sunda, Dayak, atau Bali, kemudian dikombinasikan dengan keberanian dari Madura, lalu ketegasan dari Batak, dan dicampur lagi dengan semangat dari Bugis, dan juga kekuatan adaptasi yang luar biasa dari Papua, Itu baru segelintir suku, hanya suku-suku besar, belum semuanya. Itulah Kebudayaan Indonesia (dalam hal ini penulis lebih tertarik menggunakan kalimat Kebudayaan Indonesia daripada kalimat Kebudayaan di Indonesia).
Namun yang menjadi permasalahan adalah kaum muda-mudi Indonesia merasa bingung harus bersikap seperti apa. Karena ketika mereka ingin bersikap sebagaimana tuntunan budaya yang tertanam pada sukunya, akan dianggap ketinggalan jaman, jadul, kuno, dan sebutan-sebutan lainnya yang cukup merendahkan. Sementara dalam kebudayaan Indonesia, saat ini sudah sangat jarang tokoh yang bisa dijadikan contoh dalam berperilaku sesuai dengan budaya asli Indonesia. Jika dulu ada Bung Karno yang berani mempopulerkan peci hitam khas indonesia lalu Gus Dur dengan pakaian batiknya yang me-Nusantara, sekarang trend budaya kita bergeser kearah kiblat budaya asing.
Orang-orang lebih suka menggunakan baju-baju minim dan sexy ala barat, yang demikian itu menurut mereka agar dianggap modern dan sesuai dengan perkembangan zaman. Lebih parahnya lagi, Wakil-wakil rakyat yang diharapkan bisa memberikan contoh yang baik terhadap rakyatnya malah bertingkah laku yang bukan merupakan produk budaya asli Indonesia, seperti: perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merupakan warisan dari budaya para penjajah yang pernah menjajah indonesia. Maka ketika para stakeholders pemerintahan meminta kaum muda agar tidak melupakan budaya bangsa sendiri, tampaknya mereka harus berkaca terlebih dahulu kemudian memberi contoh bagaimana berperilaku “Indonesia” agar kaum muda mempunyai figur yang bisa dicontoh.
Alex Inkeles mengungkapkan tentang 9 ciri manusia modern, yaitu :
Menerima hal-hal baru, Menyatakan pendapat baik tentang lingkungannya sendiri maupun luar, Menghargai waktu, Memiliki perencanaan dan pengorganisasian, Percaya diri, Perhitungan, Menghargai harkat hidup orang lain, Lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi, Menjunjung tinggi suatu sikap dimana imbalan sesuai dengan prestasi yang diberikan.”
Dan tidak satupun dari sembilan ciri manusia modern tersebut menurutnya harus diperoleh dari kebudayaan asing (entah itu budaya arab, barat, dsb). Sehingga manusia indonesia harusnya dapat bangga dengan budaya bangsa, turut serta dalam pemeliharaannya, meskipun harus dikemas dengan balutan budaya asing yang lebih relevan.
Ketika kaum muda berperilaku sesuai dengan budaya asalnya (suku aslinya), entah dari suku mana, sebenarnya pada suatu titik mereka akan bertemu dalam sebuah tempat yang di situ bersemayam kebudayaan yang bernama Indonesia, karena Indonesia terbentuk dari saripati kebudayaan-kebudayaan yang telah ada sebelumnya. jika kita ingat puisi yang pernah dilantunkan oleh Bung Karno berjudul Aku Melihat Indonesia, yang penggalannya sebagai berikut:
“Jikalau aku mendengar pangkur palaran, Bukan lagi pangkur palaran yang kudengarkan, Aku mendengar Indonesia”
Pangkur palaran merupakan salah satu bentuk penyajian tembang jawa, yang merupakan salah satu bentuk kesenian khas di daerah jawa. Namun Bung Karno “mendengarnya” sebagai kesenian Indonesia, Khazanah Kebudayaan Indonesia yang harus dihargai dan dilestarikan.
            Prinsip seperti Bung Karno itulah yang seharusnya menjadi pola pikir (mindset) generasi-generasi muda indonesia saat ini. Terutama para intelektual-intelektual muda yang diharapkan sebagai pejuang ideologi bangsa, seharusnya mampu memelihara kebudayaan yang sudah diwariskan oleh nenek moyang kita yang sudah disepakati sebagai tuntunan hidup dari sejak dahulu kala. Dan Para mahasiswa sebagai intelektual muda sah-sah saja memanfaatkan bantuan teknologi super canggih yang saat ini sebagian besar merupakan produk asing, namun untuk menjadi mahasiswa modern bukan berarti malah meninggalkan apalagi sampai acuh tak acuh dengan budaya negeri sendiri. Karena bila hal itu yang terjadi, jangan pernah kecewa bila suatu saat atau bahkan sekarang budaya lokal kita sudah diakui oleh negara lain.

*Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pend. IPS, Semester 8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar